Minggu, 26 April 2009

Ada Bisnis Rumput Laut di Cigorondong !

Oleh: Endan Suwandana, S.T., M.Sc.

Dimuat pada: Buletin Samudera Biru Edisi IV, Desember 2008

Ada geliat bisnis di Cigorondong. Ya, geliat bisnis budidaya rumput laut. Desa Cigorondong yang lumayan terpencil itu memiliki potensi lahan budidaya laut yang cukup menjanjikan. Seandainya saja kita memiliki jalan raya lintas pantai selatan, tentu daerah itu sudah berkembang sejak lama.

Sejak dahulu, Cigorondong menjadi incaran banyak orang untuk berusaha budidaya laut. Bahkan menurut masyarakat sekitar, sejak pertengahan tahun 90-an sudah ada yang pernah mencoba budidaya rumput laut. Namun saat itu, jauhnya jarak dan kondisi jalan yang selalu rusak menjadi kendala transportasi. Padahal daerah ini, menurut hasil penelitian beberapa lembaga, merupakan lokasi yang cukup potensial, masih alami, dan memiliki kualitas air nomor wahid.

Pada awal November 2008 lalu, gairah itu telah muncul kembali. Seorang investor telah menanamkan modalnya untuk memulai usaha budidaya rumput
laut jenis Euchema cottonii dengan melibatkan masyarakat sekitar. Lokasinya dipilih dekat Legon Guru Desa Cigorondong Kec. Sumur dan di sekitar Pulau Liwungan di Kec. Panimbang. Untuk yang di P. Liwungan baru difokuskan untuk pembibitan saja, sedangkan pembesarannya dilakukan di Cigorondong.

Budidaya ini menerapkan sistem long-line (rawai). Saat ini terdapat 12 kotak rawai di Cigorondong, masing-masing berukuran 40 x 40 m. Jarak antara rawai (tali) adalah 1 m. Pada setiap rawai terdapat 120 titik, dimana pada masing-masing titik diikatkan bibit rumput laut seberat 100-150 gram. Sehingga dalam satu unit kotak budidaya terdapat sekitar4800 titik ikatan.

Sedikit berbeda, untuk yang di P. Liwungan terdapat 20 rakit bambu masing-masing berukuran 5 x 7 m. Jarak antara rawai (tali) adalah 1 m, sementara jarak antar ikatan bibit lebih rapat yaitu 20 cm, karena memang rakit-rakit ini akan difokuskan untuk kebun bibit rumput laut saja. Bibit yang digunakan adalah berasal dari Lampung, Pulau Panjang serta dari lokasi setempat.
Selain 15 warga sekitar yang dipekerjakan sebagai karyawan dan mendapat gaji bulanan, masyarakat lain pun mendapat keuntungan dengan bekerja pada saat pembuatan jalur-jalur, pengangkutan ke lahan dan pemanenan. Ibu-ibu pun ikut merasakan manfaat dengan mengikat bibit rumput laut pada tali-tali rawai dengan upah Rp. 4000,- / rawai. Lumayan lah buat ukuran warga setempat.

Dalam waktu 45 hari ke depan, diharapkan usaha ini akan menghasilkan sekitar 80 ton rumput laut basah. Sebagian besarnya dikeringkan dan sebagiannya dijadikan bibit kembali. Diperkirakan sekitar 8 ton rumput laut kering akan dihasikan. Jika harga rumput laut kering di pasaran saat ini Rp 9.000/kg, maka penghasilan yang akan diperoleh adalah sekitar Rp. 72 juta setiap 45 hari.

"Usaha ini dikepalai oleh seorang manager area dengan mendapat bimbingan teknis dari ahli rumput laut dari Dinas Kelantan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten" Demikian diungkapkan Eddy Rosa Subagyo, Kepala Bidang Bina Usaha DKP Banten.

Usaha ini cukup terbilang mudah, murah dan teknologi sederhana, sehingga sangat cocok untuk dikembangkan oleh masyarakat sekitar, apalagi lokasinya sangat memungkinkan. Alat dan bahan yang digunakan hanya tali, jangkar, pelampung (jirigen dan botol plastik bekas) serta bibit rumput laut. Lokasi tidak perlu terlalu dalam, terlindung dan terdapat cukup arus.

Arjaya, seorang tokoh setempat mengungkapkan: "Usaha ini sangat menguntungkan bagi masyarakat, karena dengan pengikatan bibit saja ibu-ibu sudah mendapat tambahan penghasilan. Apalagi kalau bisa terus sampai panen. Wah, bisa mengurangi pengangguran".

Harapan ke depan, masyarakat setempat bisa terlibat dalam proses budidaya. Sehingga investor akan menjadi Inti dan masyarakat menjadi Plasma. Sehingga nanti akan dikembangkan pola kerjasama Inti Plasma. Kalau berhasil, tidak menutup kemungkikan investor akan mendirikan pabrik pengolahan rumput laut menjadi bahan setengah jadi berbentuk chip di Cigorondong.

Apalagi, saat ini Indonesia diberikan kuota untuk ekspor rumput laut sebesar 15% dari kebutuhan dunia. Dimana sampai saat ini, kita belum mampu memenuhi kuota itu sepenuhnya. Bukankah ini sebuah harapan untuk masyarakat Cigorondong....??!. Tinggal bagaimana kita mengolahnya !!.***

1 komentar:

  1. Ralat sedikit pak, setahu saya untuk desa cigerondong ujung kulon investor rumput laut setelah pertengahan tahun 90an muncul kembali investor baru pada agustus 2007 dan sampai saat ini masih ada. Bahkan akhir november 2009 baru panen.

    BalasHapus