Jumat, 08 Mei 2009

Kota Pelajar: Membangun Energi Kawula Muda

Oleh: Endan Suwandana, ST. M.Sc.

Patut diacungi jempol gebrakan Pemerintah Kabupaten Lebak dalam mendeklarasikan Rangkasbitung sebagai Kota Pelajar bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional 2009. Wacana yang sudah digulirkan sejak masa kampanye oleh Sang Bupati itu, sejak 2 Mei 2009 lalu betul-betul telah menjadi visi misi pemerintah daerah.

Yogyakarta memang lebih dahulu dikenal sebagai Kota Pelajar. Namun seiring dengan kemerosotan moral para pelajar/mahasiswa-nya yang dibuktikan oleh beberapa hasil survey, maka “brand image” itu semakin malu-malu dinyatakan orang, sehingga “julukan” itupun semakin jarang terdengar lagi di media. Mungkin orang bertanya-tanya, lantas apa kelebihan Yogyakarta sebagai kota pelajar, dibandingkan dengan kota-kota lain yang juga memiliki lembaga pendidikan yang menjamur seperti Bandung dan Jakarta? Mungkin inilah yang menyebabkan pudarnya julukan itu yang telah lama melekat pada Kota Yogyakarta.

Mewujudkan Rangkasbitung sebagai Kota Pelajar, sungguh merupakan obsesi yang sangat positif. Tinggal sekarang bagaimana kita menjadikan “brand image” itu berbeda dengan kota-kota lain, yang sudah barang tentu kota-kota lain pun memiliki prestasi pendidikan yang jauh lebih tinggi. Misalnya Tangerang yang memiliki segudang sekolah internasional, seperti German School, Paramadina, Al-Azhar, dll. Bahkan beberapa SMA-nya sudah bersertifikat Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Begitu juga Kota Serang dan Cilegon dengan prestasi pelajarnya di tingkat nasional. Belum lagi kota-kota besar lainnya di seluruh Indonesia.

Artinya, pada posisi ini “Rangkasbitung Kota Pelajar” bukanlah sebuah julukan (brand image), tetapi lebih merupakan sebuah visi (vision) untuk diwujudkan dan dipertaruhkan, apakah visi itu benar-benar dapat tercapai, dan apakah julukan itu memang pantas untuk disandang.

Jika sudah disepakati oleh seluruh komponen masyarakat Lebak, maka tidak ada kata lain selain visi itu harus didukung oleh semua kalangan. Segala potensi yang dimiliki harus dirubah menjadi peluang. Semua kekurangan yang ada, harus segera diperbaiki. Untuk itulah perlu dibuatnya sebuah target yang rasional (reachable) dan berbeda dengan kota-kota lain (unique). Karena tidak mungkin kita “menyalip” Tangerang dengan kondisi pendidikannya yang jauh lebih maju. Dan kita pun tidak mungkin “menyulap” Rangkasbitung menjadi Yogyakarta.

Pemerintah daerah perlu menyatukan gambaran tentang definisi “Kota Pelajar” yang akan dituju, agar image itu melekat pada semua kalangan masyarakat (image branding). Pemerintah harus segera menyusun target dan gambaran yang tidak sulit untuk dicapai dan tidak mustahil untuk diwujudkan. Dan yang terpenting, target itu haruslah berbeda dari yang lain (unique), agar julukan “Kota Pelajar” memang pantas disandang Rangkasbitung, karena kekhasannya itu.

Energi Kawula Muda

Pola pikir (mind setting) yang pertama kali harus dirubah oleh kalangan pemerintah daerah dan masyarakatnya adalah paradigma bagaimana kita memandang kawula muda. Kawula muda adalah generasi yang memiliki “energi” dan “kreatifitas” yang melimpah dan butuh untuk disalurkan dalam hal-hal yang positif. Apabila sarana dan prasarana untuk menyalurkan energi tersebut tidak tersedia, maka dikhawatirkan penyaluran pada hal-hal yang sia-sia (mubadzir) atau bahkan cenderung pada hal-hal yang negatif mungkin sekali terjadi.

Memperhatikan Rangkasbitung, kota kecil yang dapat diputari hanya dengan 20 menit berkendaraan, sementara tingkat pertumbuhan generasi muda yang cukup tinggi, apalagi dengan tingkat pertumbuhan kendaraan bermotor yang begitu masif terutama roda dua, menjadikan hati kita begitu miris menyaksikannya. Semakin sesak, semakin modern, tapi juga semakin ringkih.

Coba perhatikan aktifitas kawula muda pada hari-hari libur atau malam minggu, semua orang tumplek di alun-alun sebagai satu-satunya tempat untuk menghilangkan kepenatan. Alun-alun adalah satu-satunya tempat untuk menyalurkan energi kawula muda dan satu-satunya tempat untuk bersosialisasi secara masal antar generasi muda dari berbagai macam sekolah.

Untung saja alun-alun Rangkasbitung sudah semakin cantik dan indah, jadi agak sedikit menghibur mereka. Walaupun keramaian itu kadang kala cukup ironis juga dengan kemegahan Masjid Agung Al-A’raf yang tetap saja kosong pada waktu Sholat Maghrib dan Isya.

Coba kita saksikan pelepasan energi kawula muda itu. Di sepanjang alun-alun timur, motor-motor dari salah satu grup remaja sengaja dijejerkan dengan posisi miring 45° (bertumpu pada standar miring dan salah satu standar tegak). Sementara di sepanjang alun-alun utara motor-motor dari gank remaja yang lain dijejerkan dengan posisi ban depan naik ke trotoar sementara ban belakang tetap di aspal. Di alun-alun selatan sebuah van dengan full sound sistem menggetarkan alun-alun. Ada lagi kelompok remaja “ceper” dimana semua motor dan aksesorisnya aneh dan lucu berjejer di tempat yang lain.

Generasi muda kita sedang menyalurkan “energi” dan “kreatifitas”. Inilah upaya mereka untuk mengeluarkan dorongan “energi” dan luapan “kreatifitas” yang begitu dominan pada remaja seusia mereka. Mereka adalah generasi muda, dan mereka pun adalah pelajar. Bagaimana mungkin kita menjuluki diri sebagai Kota Pelajar? Maka, aspek inilah yang harus segera digarap oleh pemerintah agar berganti menjadi hal-hal yang lebih “edu-kreatif”.

Pemerintah dan masyarakat perlu memahami realitas sosial gank-gank motor di atas. Kita tidak bisa menutup mata begitu saja. Semua kejadian sosial adalah dampak dari pembangunan baik fisik, rohani, struktur, pola pikir (mind set), kurikulum dam sebagainya. Kita tidak mencari dimana letak kesalahannya, tapi itulah realitas yang harus segera disikapi.

Di luar negeri, karena fasilitasnya tersedia, mereka menyalurkan energi dan kreatifitasnya di tempat-tempat seperti body buiding, gymnasium (tempat olah raga) dengan berbagai fasilitasnya seperti basket, karate, tenis, tinju, renang, sepakbola dll. Sementara mereka yang berjiwa seni dapat meyalurkan kreatifitasnya dengan belajar peran (acting) pada teater, opera, sanggar lukis, aktifitas teology (agama), dsb. Inilah yang harus ditiru oleh pemerintah daerah.

Perlu diingat, di dunia ini kita menyaksikan lebih banyak orang yang berhasil justru bukan karena prestasi sekolahnya, tapi karena aktulisasi bakatnya (talenta), kemampuan dan aspek psikomotoriknya yang terus diasah melalui berbagai fasilitas publik yang tersedia.

Aktulisasi pelajar melalui fasilitas publik tadi dapat menghasilkan efek ganda (multiplier effect) pada kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat lokal. Karena, ketika generasi muda itu telah profesional, maka mereka dapat menyedikan hiburan bagi masyarakat lokal untuk menonton pertunjukan mereka pada malam-malam minggu baik melalui pertunjukan teater, opera, sirkus, sulap, turnamen sepakbola, badminton, dll sebagai alternatif acara TV yang menjemukan atau kondisi alun-alun yang sudah penuh sesak. Jika mindset-nya seperti ini, maka Rangkasbitung menjadi sebuah tempat yang sangat nyaman untuk ditinggali.

Keberadaan fasilitas-fasilitas publik yang dapat menyalurkan energi, kreatifitas, bakat (talenta), serta kemampuan psikomotorik generasi muda perlu dibangun. Keberhasilan pendidikan tidak akan berhasil jika hanya membangun aspek pendidikan (kognitif)-nya saja, tetapi juga harus memperhatikan fungsi manusia yang lain yaitu untuk dapat mengaktualisasikan diri (self-actualization). Bahkan menurut Maslow’s Theory, aktualisasi diri ini justru merupakan puncak dari tahapan perkembangan manusia. Apabila tidak ada sarana untuk mengaktualisasikan diri, maka proses pendidikan itu akhirnya menjadi sesuatu yang tidak bermakna.

Inilah mungkin salah satu peran yang dapat diambil oleh Pemerintah Kabupaten Lebak untuk mewujudkan Rangkasbitung sebagai Kota Pelajar yang memiliki keunikan tersendiri dengan fasilitas publik yang lengkap sebagai wahana aktulialisasi diri para pelajarnya. Langkah-langkah unik dan efektif lainnya akan dijelaskan pada tulisan selanjutnya.*)

Penulis adalah pengamat pendidikan, calon widyaiswara Provinsi Banten, tingal di Warunggunung.

Gerakan Rehabilitasi Sabuk Hijau Pantura

Oleh Endan Suwandana, ST, M.Sc.

Gagasan pembentukan “Banten Coral Reef, Seagrass and Mangrove Center” (BCRSMC) harus didukung oleh sebuah pranata hukum agar cita-cita itu dapat terlaksana dengan baik. Bentuk instrumen hukum yang akan diusulkan tersebut berupa instruksi kepala daerah, dalam hal ini gubernur, mengingat wilayahnya meliputi seluruh kawasan Pesisir Pantai Utara (Pantura).

Bentuknya berupa instruksi gubernur (ingub), bukan peraturan gubernur dan bukan pula peraturan daerah. Hal ini adalah yang paling tepat, mengingat aturan ini tidak berkaitan dengan retribusi, pajak maupun sanksi. Instruksi itu hanya berupa kebijakan kepala daerah untuk dilaksanakan oleh setiap SKPD, serta himbauan kepada pihak swasta dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi pesisir termasuk pembentukan BCRSMC ini.

Bagi setiap SKPD terkait, ingub ini bersifat wajib untuk dilaksanakan (obligatory). Adapun bagi masyarakat dan dunia usaha, ingub ini hanya bersifat himbauan (voluntary). Usulan Ingub ini kemungkinan adalah Instruksi Gubernur Banten No….tahun… tentang “Gerakan Rehabilitasi Sabuk Hijau (Green Belt) Pantura”.

Fokusnya memang Pantura, karena kondisinya sangat mendesak untuk segera direhabilitasi. Adapun Pesisir Pantai Barat, karena memiliki morfologis yang berbeda, yaitu pantai berkarang yang sulit ditumbuhi mangrove (kecuali beberapa titik tertentu), maka hal ini tidak menjadi wilayah sasaran. Di samping itu, Pesisir Pantai Barat telah dipenuhi oleh aktifitas pariwisata dan hotel-hotel, sehingga tidak tepat untuk dilakukan rehabilitasi dan penghijauan hutan mangrove.

Begitu pun untuk Pantai Selatan, dimana ekosistem mangrove hanya dijumpai di beberapa titik saja, karena Pantai Selatan didominasi oleh pantai yang curam dan terjal. Pantai Selatan tetap akan menjadi sasaran target, namun bukan menjadi prioritas utama. Hal ini sejalan dengan hasil kajian Grand Design Rehabilitasi Mangrove TA 2008.

Perlu diketahui bahwa usulan ingub ini masih berupa wacana yang spontan mengemuka dalam acara Temu Koordinasi Pengelola Mangrove, April 2009. Jadi usulan ini sama sekali belum dikonsultasikan dengan pihak-pihak terkait, termasuk Biro Hukum dan Organisasi.

Materi ingub ini berisikan dasar hukum, tujuan serta manfaat gerakan rehabilitasi sabuk hijau pantura. Selain itu ada pasal yang menerangkan tentang pentingnya didirikan BCRSMC, baik bagi kepentingan lingkungan, pendidikan, regional, pertahanan dan keamanan, sosial budaya, dan ekonomi. Ada juga pasal yang merinci sarana prasarana yang dibutuhkan BCRSMC, berikut struktur organisasinya.

Selanjutnya ada pasal yang mengatur tentang Sertifikat Aman Mangrove (Mangrove-Safe Certificate/MSC) yang dihimbau untuk dimiliki oleh seluruh badan usaha yang berkaitan dengan budidaya tambak, seperti para petambak, pabrik pakan, restoran seafood, serta para penjual ikan/udang (baik lokal mupun ekspor), termasuk supermarket. Hal ini adalah merupakan adopsi murni dari apa yang telah didahului oleh LSM KeSEMAT yang bekerjasama dengan Universitas Diponegoro, Semarang.

Pada awalnya, sertifikat semacam ini dikembangkan di Jepang, yaitu berupa Dolphin-Safe Certificate yang dikeluarkan oleh NGO bekerjasama dengan asosiasi perusahaan penangkap ikan tuna. Semua perusahaan tuna di sana wajib memiliki sertifikat ini sebagai pengakuan bahwa perusahaan tersebut bertanggung jawab untuk melepaskan lumba-lumba (dolphin) yang tertangkap secara tidak sengaja sewaktu mereka menangkap tuna. Mereka yang tidak memiliki sertifikat ini tidak dapat memasarkan hasil ikannya.

Pasal selanjutnya dalam ingub di atas adalah tentang Sertifikat Pesisir Hijau (Coastal Green Certicitate). Sertifikat ini juga dianjurkan (tidak dipaksakan) untuk dimiliki oleh perusahaan-perusahaan lain yang tidak ada hubungan langsung dengan tambak udang, namun peduli terhadap kelestarian lingkungan, baik perusahaan itu beroperasi di pesisir pantai, maupun beroperasi di daratan. Hal ini berbeda dengan sertifikat proper yang dikeluarkan oleh BLHD yang merupakan penilaian khusus untuk mengukur kinerja perusahaan, termasuk pengelolaan lingkungan sekitarnya.

Pasal selanjutnya mengatur tentang himbauan bagi masyarakat pemakan (penghobi) seafood (seafood eater) untuk selalu memperhatikan apakah restoran yang disinggahinya memiliki Mangrove-Safe Certificate atau tidak. Pasal ini juga mengatur peran serta seafood eater dalam memberikan sumbangan / dukungan bagi upaya pembenihan dan penanaman mangrove.

Pasal selanjutnya mengatur himbauan bagi masyarakat luas untuk ikut berpartisipasi dalam menyukseskan ingub ini, termasuk kepada masyarakat sekitar yang tinggal di pesisir pantai.
Pasal selanjutnya mengatur tentang penegasan kawasan sempadan pantai yang tidak boleh dimiliki, dikuasai, ditanami, dan dimanfaatkan untuk kegiatan apapun sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, dan agar masyarakat yang telah menguasai lahan tersebut dapat memberikan kepada pemerintah secara sukarela untuk kegiatan rehabilitasi kawasan pesisir guna terwujudnya sabuk hijau pantura.

Pasal selanjutnya mengatur tentang “kampanye sadar pesisir” yang harus dilakukan kepada seluruh lapisan masyararakat, termasuk anak sekolah dan mahasiswa dengan berbagai kegiatan pendidikan, penyuluhan, lomba dan sebagainya.

Pasal selanjutnya mengatur tentang pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan sabuk hijau pantura. Termasuk aturan tentang silvofeshery, yaitu himbauan agar para pemilik tambak melakukan penanaman mangrove baik di sekitar pematang tambak maupun pada daerah lain.
Pasal selanjutnya berisi himbauan kepada para perusahaan swasta yang beroperasi di wilayah pesisir untuk melakukan upaya rehabilitasi kawasan pesisir termasuk penanaman mangrove, baik di sekitar kawasan perusahaan maupun di wilayah pesisir lainnya dengan menggunakan prinsip kompensasi lingkungan.

Pasal selanjutnya berisi tentang himbauan kepada perusahaan negara dan perusahaan swasta agar menyisihkan sebagian keuntungan perusahaannya untuk mewujudkan pembangunan sarana prasarana BCRSMC, atau untuk untuk mendukung “gerakan rehabilitasi sabuk hijau pantura” dan “kampanye sadar pesisir”.

Pasal selanjutnya adalah himbauan kepada lembaga donor asing untuk turut membantu terwujudnya pembangunan BCRSMC serta terlaksananya “gerakan rehabilitasi sabuk hijau pantura.”

Demikian usulan Instruksi Gubernur tentang “Gerakan Rehabilitasi Sabuk Hijau Pantura” sebagai dasar hukum bagi pelaksanaan kegiatan konservasi dan rehabilitasi kawasan Pesisir Pantura (termasuk Pantai Selatan) serta dasar hukum bagi terwujudnya BCRSMC di Provinsi Banten.**)

Penulis:
Kasie Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, DKP-Banten.

DKP Banten Gagas Pembangunan Banten Mangrove Center

DKP Provinsi Banten Gagas Pembangunan
“Banten Coral Reef, Seagrass and Mangrove Center”

Oleh Endan Suwandana, ST, M.Sc.

Sebuah gagasan mengenai pembentukan “Banten Coral Reef, Seagrass and Mangrove Center” (BCRSMC) atau “Pusat Terumbu Karang, Padang Lamun dan Bakau Provinsi Banten” telah digulirkan oleh DKP Provinsi Banten dalam acara Temu Koordinasi Pengelola Mangrove yang diadakan di Hotel Cilegon City, akhir April 2009. Ini adalah sebuah terobosan serta jawaban atas permasalahan kerusakan lingkungan pesisir yang terjadi di Pantai Utara Jawa.

Sekitar 30 stakeholder yang hadir pada acara tersebut, baik dari lingkungan SKPD Provinsi Banten, SKPD kabupaten/kota serta NGO (Rekonvasi Bhumi dan Palapa Ngareksa Bumi) sepakat untuk segera merumuskan langkah-langkah untuk mewujudkan vision tersebut. Bahkan semua peserta sepakat untuk tidak menunggu penganggaran 2010, dan siap bekerja secara sukarela (voluntary) pada tahun berjalan, demi terwujudnya cita-cita mulia ini.

Memang, kegiatan yang selalu terikat pada anggaran DPA/DIPA akan menghambat kreatifitas, inisiatif dan langkah-langkah taktis pemerintah. Kadang-kadang sebuah peraturan, keputusan atau intsruksi kepala daerah harus segera dibuat tanpa tergantung pada penganggaran. Karena masalah lingkungan sering kali membutuhkan penyelesaian yang cepat.

Tragedi Situ Gintung adalah contoh dimana masalah lingkungan memang tidak boleh ditunda-tunda dan harus diantisipasi secara cepat, karena hal tersebut berpotensi bencana yang bisa saja datang dengan tiba-tiba.

Pada awalnya, gagasan ini adalah inisiasi dari Drs. Yayat Suhartono, anggota DPRD Banten, yang kemudian didukung oleh sebuah kajian Grand Design Rehabilitasi Mangrove Provinsi Banten pada TA 2008, di bawah tanggung jawab Yudi Heriawan, S.Pi, M.Si.

Gagasan pembentukan BCRSMC terasa sangat tepat, terlebih dengan adanya beberapa momentum besar yaitu pertama: Peringatan Hari Bumi Internasional yang ke-40 pada tahun 2010 (40th Anniversary of the Earth Day 2010); kedua: pemilihan presiden dan anggota legislatif baru yang mudah-mudahan lebih peduli pada lingkungan.

Momentum ketiga: Departemen Kelautan dan Perikanan akan mendirikan 5 (lima) buah UPT BPSPL (Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut) yang salah satunya akan ditempatkan di Provinsi Banten. Untuk UPT yang ada di Banten ini, wilayah kerjanya meliputi 8 (delapan) provinsi yaitu Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Banten.

Momentum keempat: penetapan UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) dimana Pasal 40 menyatakan bahwa setiap perusahaan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan sumberdaya alam, maka wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility/CSR) (ayat 1), dimana tanggung jawab ini harus teranggarkan dalam perhitungan keuangan perusahaan (ayat 2), serta sanksi akan diberikan bagi perusahaan yang tidak melaksanakan ketentuan ini (ayat 3).

Empat buah momentum itu akan memberikan spirit yang besar bagi pembentukan BCRSMC. Untuk itu dibutuhkan komitmen yang kuat serta jiwa voluntary (sukarela) dan phlanthropy (kedermawanan) dari semua pihak, baik SKPD terkait, dunia usaha, LSM, pemerintah pusat, legislatif serta tentunya kepala daerah. Keterpaduan dan sinergitas dari semua unsur tersebut akan mempermudah terwujudnya cita-cita yang diharapkan.

Saat ini kawasan hutan mangrove menjadi tanggung jawab beberapa pihak, di antaranya adalah Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Pekerjaan Umum, serta Badan Pertanahan Negara. Tumpang tindih kewenangan itu sering kali menyulitkan dalam operasional di lapangan. Data mangrove tersebar di mana-mana dan angkanya pun berbeda-beda. Untuk itu, BCRSMC diharapkan dapat menjadi wadah untuk mempersatukan kewenangan tadi sehingga semua kegiatan dapat terintegrasi dan terkelola dengan baik.

BCRSMC adalah institusi manajerial yang bersifat koordinatif, yang akan merumuskan kegiatan-kegiatan seperti rehabilitasi kawasan pesisir pantura, pembibitan dan penanaman mangrove, pendidikan dan pelatihan, pariwisata, pengembangan tambak silvofishery, serta pemberdayaan masyarakat.

Manfaat dari pembentukan BCRSMC ini sangat besar. Selain berdampak pada peningkatan kualitas lingkungan, lembaga ini juga akan memberikan dampak ekonomi yang besar bagi masyarakat dalam berbagai aktifitas ekonomi mulai dari pembibitan (nursery), pendidikan buat anak sekolah, training for trainer, training for manager, penelitian, magang, wisata alam, jogging track, bird watching, wisata kuliner, museum mangrove, serta berbagai variasi oleh-oleh dan kerajinan tangan.

Di Indonesia sudah ada beberapa mangrove center, diantaranya adalah Mangrove Information Center di Bali yang didanai JICA-Jepang, Mangrove Center Lampung, Surabaya Mangrove Conservation Center serta Mangrove Rehabilitation Center di Aceh. Center-center tersebut ada yang dibiayai sepenuhnya oleh bantuan luar negeri (JICA), ada pula yang dibiayai penuh oleh APBN/APBD.

Adapun konsep pembangunan BCRSMC adalah partisipatif. Artinya, sarana prasarana yang akan dibangun tidak hanya dibiayai oleh pemerintah melalui APBN/APBD, melainkan juga melalui sumber-sumber dana lain seperti BUMN dan perusahaan swasta melalui program CSR, serta lembaga donor seperti JICA, AUSAID, USAID, dsb.

Dengan demikian, diharapkan BCRSMC dapat menjadi salah satu contoh “pembangunan partisipatif” berbasis cluster, dimana semua pihak menyisihkan anggarannya sesuai dengan tugas dan kewenangannya untuk mewujudkan sebuah tujuan yang dicita-citakan bersama.

Penulis:
Kasie Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, DKP-Banten.