Sabtu, 04 Juli 2009

Badan Survey dan Pemetaan Daerah: Sebuah Wacana

Oleh: Endan Suwandana, ST., M.Sc.

Ada yang menarik dari acara Workshop Pengelolaan Data Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diselenggarakan oleh Ditjen KP3K Departemen Kelautan dan Perikanan RI di Hotel Salak Bogor, 29 Juni – 1 Juli 2009, yaitu masalah keterbatasan data sumberdaya alam dan lingkungan, khususnya data kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil.

Masalah ini sangat penting untuk digulirkan dalam masa kampanye ini, agar idenya dapat ditangkap oleh para calon presiden dan wakil presiden, serta menjadi amunisi yang berharga bagi para tim suksesnya demi perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan pada pemerintahan yang baru nanti.

Saat ini, instansi teknis di pusat dan daerah memiliki permasalahan yang cukup serius tentang data, terutama data-data yang berkaitan dengan sumberdaya alam khususnya kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil. Carut-marut permasalahan data ini selalu terungkap tiap tahun pada acara-acara seperti ini, dan tak kunjung ada penyelesaiannya.

Saat ini, tidak ada instansi yang mampu menyebutkan secara pasti luas terumbu karang, padang lamun dan hutan bakau, serta kondisinya baik yang masih sehat maupun yang sudah rusak. Tidak ada pula yang mampu menginventarisasi potensi yang terdapat pada pulau-pulau kecilnya. Apalagi berbicara dengan data di daerah baik provinsi maupun kab/kota, hampir semua menyatakan ketidakmampuannya dalam mengumpulkan, menyimpan, mengelola dan mengolah data sumberdaya alam dan lingkungan dengan baik.

Semua data yang kita miliki itu tersimpan secara parsial dan tersebar di berbagai instansi dalam berbagai format yang kadang-kadang tidak exchangable, baik jenis, koordinat, scope maupun skala.

Begitu pula mengenai data-data yang berkaitan dengan peta, kadang-kadang terjadi tumpang tindih di daerah. Di daerah, saat ini instansi yang menangani peta biasanya adalah Bappeda dan Badan Pertanahan Nasional (BPN), serta di beberapa daerah ada juga Dinas Tata Ruang Wilayah. Namun sayangnya ketiga instansi itu pada prakteknya sulit untuk menyatukan datanya, bahkan kadang-kadang beberapa poligon antara tata ruang provinsi dan daerah tidak konsisten dalam beberapa peta tematiknya, garis pantai berbeda-beda, dan kasus-kasus mis-placed lainnya, karena memang data dasar satelit yang digunakan oleh masing-masing instansi mungkin memiliki resolusi tidak seragam.

Belum lagi mobilitas personil di pusat dan daerah yang sangat tinggi, dalam arti sering mengalami mutasi antar instansi. Ketika seseorang yang mengelola data di sebuah instansi itu dimutasi ke instansi lain, maka biasanya data itu pun akan terbawa olehnya. Lalu setahun kemudian biasanya data itu sudah sulit dicari.

Hal ini terbukti, setiap ada kegiatan pengolahan data baik di diselenggarakan tingkat provinsi atau pusat, personil yang hadirnya pun selalu berbeda-beda. Akibatnya energi kita dan dana pemerintah hanya dihabiskan untuk melatih dan mendidik saja. Ketika selesai, personil yang telah dididik dan terlatih tadi tiba-tiba dimutasi ke instansi lain.

Hal ini sering diperparah dengan political will dari kepala daerah yang berbeda-beda. Tidak jarang kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan urusan statistik, survey SDA dan pengumpulan data mendapat porsi anggaran yang minim di instansi sektoral, karena anggapan bahwa tugas pokok instansi sektoral tersebut adalah untuk meningkatkan PAD dan kesejahteraan masyarakat. Sementara kegiatan statistik dan pengumpulan data dianggap tidak memiliki kepentingan yang mendesak dan tidak berhubungan langsung dengan peningkatan PAD dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pengumpulan data sumberdaya alam dan lingkungan yang dilakukan oleh dinas instansi di daerah pun terhambat oleh Keppres 80 tahun 2003 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Dimana untuk setiap survey, penelitian atau pengamatan data sumberdaya alam dan lingkungan harus melalui tahap pelelangan, pemenangnya pun tentu akan berbeda-beda dengan teknik, standar metodologi, jenis alat, kalibrasi alat yang mungkin berbeda-beda juga.

Mungkinkah reabilitas data sumberdaya alam dan lingkungan negara kita dapat kita percayakan pada sistem pengambilan data yang seperti ini? Dimana pelakunya (perusahaannya) berganti setiap tahun dengan standar yang berbeda-beda? Tentu tidak.

Untuk data demografi, sosial dan ekonomi beruntung kita memiliki instansi BPS (BadanPusat Statistik), sehingga data-data mengenai demografi dan sosial ekonomi baik di pusat maupun daerah dapat terekam dengan baik setiap tahunnya. Hal ini didukung dengan keberadaan BPS yang ada disetiap provinsi dan kab/kota.

Tapi bagaimana untuk data-data sumberdaya alam dan lingkungan? Padahal negara kita sangat tergantung pada data-data ini untuk menentukan perencanaan dan pengelolaan pembangunannya. Sungguh suatu ironi yang sangat menyedihkan. Apabila keadaan ini terus berlanjut, maka diyakini pada 20 tahun yang akan datang, keadaan data dan statistik sumberdaya alam dan lingkungan ini masih tetap seperti saat ini, tersebar pada berbagai intansi dan tidak ter-record dengan baik.

Untuk itulah perlu digulirkan sebuah wacana untuk membentuk sebuah lembaga yang bertugas melakukan survey, update dan pemetaan data-data sumberdaya alam dan igkungan yang ada di setiap daerah, agar data-data baik spasial maupun non-spasial tentang sumberdaya alam dan lingkungan dapat dikelola di bawah suatu instansi tersendiri. Hal ini akan menghapus anggapan bahwa data dan statistik adalah urusan yang tidak penting, karena instansi ini memang tugasnya melakukan pengumpulan data, survey dan pemetaan.

Namun hal ini bukan berarti kita “latah” untuk mengusulkan sebuah lembaga baru seperti yang sedang marak di negeri ini. Kita cukup mengoptimalkan lembaga yang ada dan memberikan kewenangan yang lebih luas. Saat ini kita memiliki Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), maka mengapa tidak instansi ini dijadikan sebagai instansi vertikal sampai ke tingkat daerah yang tugasnya melakukan survey dan pemetaan sumberdaya alam dan lingkungan. Instansi ini akan menjadi BPS-nya bagi data sumberdaya alam dan lingkungan.

Instansi ini bersifat fungsional. PNS yang bekerja pada instansi ini dapat direkrut dari instansi pusat dan SKPD daerah yang saat memiliki tupoksi sesuai. Instansi ini akan bertugas dan bertanggung jawab untuk melakukan survey dan pemetaan. Karena menjadi tugas utama, sehingga kegiatan survey dan pengumpulan data tidak perlu dilakukan melalui mekanisme pelelangan, tetapi justru melalui kegiatan rutin survey dan penelitian (in-house research).

Ada yang berangapan bahwa instansi semacam ini tidak perlu dibentuk, yang kita perlukan hanyalah koordinasi antar intansi yang lebih intensif. Namun dalam kondisi dewasa ini, dimana peran petugas statistik bukan merupakan pilihan yang menggiurkan di daerah, mutasi dan promosi antar SKPD sering terjadi, kondisi pengelolaan database yang tidak menggembirakan, political will dari pemerintah daerah yang kurang terhadap kegiatan survey dan pengumpulan data, maka koordinasi semacam apa yang dapat kita andalkan untuk pengelolaan database sumberdaya alam dan lingkungan Indonesia?

Sementara faktanya, kita sudah berbicara mengenai konsep metadata dan konsep data interchange format sejak satu dekade lalu, tapi sampai saat ini kita masih tetap saja kesulitan untuk mencari dan mengakses sebuah data, karena memang tidak ada yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan mengelola metadata tersebut. Koordinasi itu pada praktiknya tidak dapat berjalan dan tidak dapat diandalkan.

Ada pula upaya yang saat ini sedang dilakukan antara DKP dan Menpan yaitu untuk mewujudkan petugas statistik menjadi tenaga fungsional, agar posisi itu menarik bagi pegawai di daerah sehingga tidak mudah baginya untuk pindah / mutasi ke instansi lain. Hal ini langkah positif untuk mengurai salah satu handicap dalam pengelolaan data. Namun pengalaman membuktikan bahwa posisi mereka yang biasanya cuma satu orang saja di setiap SKPD di daerah menjadikan posisi tawar mereka lemah, sehingga anggaran pun sering tidak diporsikan proporsional oleh SKPD-nya atau tidak disetujui oleh Bappeda.

Dengan kondisi seperti ini maka kapankah negara kita dapat memiliki data dasar (baseline data) sumberdaya alam khususnya kelautan yang valid dan dapat dipercaya? Sementara satu-demi satu pulau kita di-‘lirik’ oleh negara lain karena jangan-jangan mereka memiliki baseline data ttg pulau tersebut. Disamping kita pun sering kalah untuk klaim ketika tumpahan minyak terjadi?.

Sementara negara tetangga kita Malaysia, memiliki Jawatan Pemetaan sampai ke tingkat daerah. Sehingga tak heran, masalah titik-titik patok sebagai batas terluar antara negara RI dan Malaysia di Kalimantan mereka pelihara dengan baik, sementara kita malah sering kehilangan jejak tentang patok-patok perbatasan tersebut (menurut penuturan seorang PNS di Pemda Kalimantan Timur).

Ini adalah masalah integrasi bangsa dan permasalahan serius yang membutuhkan pemecahan yang urgent. Semoga wacana ini menjadi salah satu upaya untuk pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan ke arah yang lebih baik pada pemerintahan yang akan datang, yaitu pemerintahan yang mengangap “data” sebagai bagian terpenting dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan.

*) Kasi Konservasi, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten