Senin, 27 April 2009

Mengapa Pasir Laut Diburu ?

Oleh: Endan Suwandana ST., M.Sc.

Dimuat: Buletin Samudera Biru Edisi 02 Tahun IV/2006.

Mengapa pasir laut diburu? Pertanyaan ini selalu menggelitik pikiran sebagian orang ketika konflik pasir laut kembali mencuat dan memenuhi halaman berita. Konflik ini terlalu sering terjadi di beberapa daerah di tanah air, termasuk yang terjadi di Provinsi Banten. Hal inilah yang akhirnya menggugah penulis untuk menelusuri hal ihwal konflik pasir laut yang sampai saat ini tak juga kunjung usai....

Reklamasi Singapura, the Trigger?

Pada awal dekade 70-an, negara tetangga kita bernama Singapura, yang memiliki wilayah secuil namun kaya raga itu, merencanakan memperluas wilayah daratannya dengan merencanakan mega proyek reklamasi pantainya untuk kepentingan perluasan kawasan industri, wisata, lahan pertanian, pusat penelitian perikanan, dan bandara Changi.

Tak ayal hal ini langsung dilirik oleh para pebisnis pertambangan di tanah air, karena nilai keuntungan jualan pasir yang sangat menggiurkan, sementara sumberdayanya cukup melimpah di tanah air. Proyek ini menjadi pemicu (trigger) ekspor pasir laut di tanah air, dan sejak saat itu dimulailah bermetrik-metrik ton pasir laut diangkut ke Singapura, tanpa diawali pengkajian mengenai dampak yang mungkin timbul.

Karena kebutuhan perluasan wilayahnya dan kemudahan mencari bahan baku dari negeri tetangganya. Singapura yang dijuluki "negara kota" itu terus keasyikan melanjutkan proyek reklamasinya sampai saat ini. Disinyalir sudah jutaan ton pasir laut yang sudah diangkut kesana sejak tahun 70-an. Bahkan sebuah sumber mencatat rencana reklamasi Singapura sampai tahun 2010 dapat dilihat pada tabel. Total kebutuhan pasir laut untuk seluruh proyek itu diperkirakan mencapai 1,8 miliar m3 (sumber lain menyebutkan 7,12 miliar m3).

Benarkah Hanya Untuk Reklamasi?

Apakah kebutuhan impor pasir laut Singapura yang selanjutnya diikuti juga oleh negeri "jiran" Malaysia adalah hanya untuk memperluas wilayahnya?. Ternyata tidak semua orang mempercayainya. Teka-teki mengenai digunakannya pasir laut untuk bahan baku industri ini memang belum sepenuhnya terbukti. Tapi penelitian dua orang pakar yaitu Dr. Ir. Lis Sopyan, M. Eng (peneliti BPPT) clan Prof. Suroso (Univ. Airlangga) membuktikan bahwa pasir laut yang biasa dijual dengan harga rendah ke Singapura tersebut ternyata memiliki kandungan pasir kuarsa (SiO) dengan kadar 95-98% (hasil penelitian PT. Sucofindo).

Lalu ada apa dengan pasir kuarsa (SiO) ?. Ternyata pasir kuarsa adalah bahan baku utama untuk membuat gelas, kaca rumah, alat-alat laboratorium, alat-alat optik (lensa kacamata), termasuk kaca untuk kamera pesawat terbang (air craft camera) dan kaca anti peluru. Wow...

Untuk membuat gelas atau kaca rumah yang sering kita lihat sehari-hari, cukup diperlukan pasir dengan kandungan kuarsa 50-60% untuk dibuat bahan baku kaca jenis sodalime glass. Selain sodalime glass, adalagi jenis bahan baku lain yang dihasilkan dari pasir yang berkadar 100% kuarsa, yaitu borosilicate glass, alumino silicat glass dan fused sillica glass. Yang terakhir ini adalah bahan baku untuk pembuatan kamera pesawat terbang dan serat optik silikat yang digunakan untuk penghantar data dan informasi karena serat ini menghasilkan loss transmission yang sangat rendah, sehingga memiliki daya hantar yang tinggi. Bahkan dengan zat aditif tertentu bahan baku jenis fused sillica glass ini dapat menghasilkan kaca anti peluru.


Inilah data-data yang dipercaya oleh sebagian para ahli tentang alasan mengapa Singapura terus mengimpor besar-besaran pasir laut dari negeri kita. Tentu, selain untuk kepentingan reklamasi, pasir laut itu kemungkinan digunakan untuk kebutuhan industri yang secara ekonomis lebih menjanjikan. Sebagai bahan perbandingan, kaca jenis fused silica glass dengan ukuran 2x5 cm harganya mencapai Rp 300 ribu, padahal pasir laut kita hanya dihargai US$ 3 / m3 (sebelumnya US$ 1.5). Sebuah argumen yang masuk akal....

Tinjauan Ekonomis

Di tengah krisis keuangan negara dan minimnya sumber-sumber pemasukan keuangan negara, kebijakan ekspor pasir laut memang menjadi pilihan yang dilematis. Pemerintah telah beberapa kali melakukan "buka tutup" keran ekspor ini karena berbagai alasan. Harga pasir laut setelah ditetapkannya Harga Patokan Ekspor (HPE) oleh Memperindag adalah US$ 3 / m3. Dengan harga itu sebuah sumber memprediksi bahwa volume ekspor pasir laut mencapai 338,71 juta m3 per tahun dengan nilai US$ 210,75 juta atau Rp 1,89 trilyun / tahun.

Bagi Provinsi Riau, tak diragukan bisnis pasir laut ini telah menjadi sumber paling dominan untuk menyokong Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya. Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 85% nilai ekspor provinsi yang bertetangga dengan Singapura ini berasal dari ekspor pasir laut ini, 2% dari pasir darat, dan sisanya dari komoditas lain. Tak kurang dari Rp 5 milyar / hari keuntungan kotor dari bisnis ini masuk ke kantong Pemda Riau. Itu belum termasuk jumlah yang diselundupkan dan yang tidak tercatat, yang diyakini jumlahnya jauh lebih besar.

Kalimat terakhir itulah yang sangat menyakitkan hati anak bangsa, yaitu adanya data yang menyebutkan bahwa penambangan pasir ilegal justru ternyata lebih besar dari volume penambangan pasir legal. Hal ini tentu sangat merugikan keuangan negara yang cukup besar. Di Provinsi Riau saja, tercatat bahwa volume ekspor pasir legal per hari adalah 0,93 juta m3, sedangkan volume impor pasir Singapura dari Riau mencapai 2,02juta m3 per hari dengan nilai mencapai Rp 11,33 milyar. Berarti terdapat selisih sebesar 1,10 juta m3 per hari. Jumlah yang tidak tercatat ini merupakan pasir ilegal yang diambil tanpa izin atau tidak didaftarkan.

Dengan perhitungan itu, negara telah dirugikan sebesar Rp 6,14 milyar setiap hari atau sekitar Rp 2,24 trilyun / tahun. Bisa dibayangkan kerugian negara selama ekspor pasir laut dalam kurun waktu 1978 - 2006 bisa lebih dari Rp 60 trilyun (sumber lain bahkan menduga 237 trilyun), cukup untuk melunasi hutang-hutang Indonesia pada IMF. Belum lagi nilai pasir kuarsa yang belum diperhitungkan dengan harga US$ 10 / m3, dimana dari 1 m3 pasir yang mengandung kuarsa dapat dibuat menjadi 100-200 lembar kaca dengan nilai US$ 500-1000.

Dampak Terhadap Lingkungan

Tidak dapat dipungkiri bahwa aktifitas yang telah berlangsung sejak tahun 70-an ini telah banyak menimbulkan dampak buruk pada lingkungan. Situs Kompas pernah melaporkan bahwa akibat pengerukan pasir secara besar-besaran, 7 pulau di pesisir Selat Makassar yang terletak di antara Kota Balikpapan dan Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, tenggelam. Padahal, pulau-pulau tersebut asalnya memiliki luas masing-masing antara 5 - 50 ha. Ketujuh pulau tersebut adalah Pulau Gusung Mamiang, Gusung Besar, Gusung Karang, Gusung Batu, Gusung Hitam, Gusung Tanjung, dan Gusung Kecil. Kini yang masih tersisa hanya Pulau Gusung Besar, padahal pulau yang semula memiliki luas 50 ha dengan ketinggian sekitar 3 m itu kini hanya berupa gundukan kecil pasir di tengah laut. Bukan main!!!

Walaupun demikian, hilangnya pulau-pulau ini dengan menyandarkan pada aktifitas penambangan pasir laut, perlu dikaji lebih serius ungkap Dr. Subandono Diposaptono, M. Eng, (peneliti DKP). Dari tinjauan hidrooseanografi, kecerobohan dalam penetapan daerah konsesi penambangan memang sangat berpengaruh terhadap ketidakseimbangan morfologi pantai yang memicu proses abrasi.

Situs Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) turut melaporkan secara detail kerusakan-kerusakan yang terjadi di beberapa pulau di Provinsi Riau seperti Pulau Nipah, Pulau Tulang, Pulau Moro, Pulau Buru, Pulau Karang, dan abrasi di daratan utama seperti di Kec. Puding dan Kec. Karimun. Tingkat abrasi bervariasi dari yang belasan meter sampai yang paling parah tercatat di Pantai Lubuk Puding Kec. Karimun yaitu sejauh 109,5 m. Sementara itu Situs Tempointeraktif turut pula melaporkan abrasi pantai di Kec. Tirtayasa Provinsi Banten yang semakin parah yang diduga diakibatkan oleh aktifitas penambangan pasir laut.

Selain kerusakan morfologi pantai, kerusakan lain seperti punahnya biota laut, matinya terumbu karang, curamnya tebing pantai, berubahnya pola arus, intrusi air laut, dsb mengakibatkan permasalahan berantai lain yang lebih menyedihkan, yaitu konflik sosial dan ekonomi masyarakat sekitar.

Turunnya Mata Pencaharian Nelayan

Kerusakan lingkungan tadi, terutama terhadap terumbu karang dan rusaknya habitat tempat ikan memijah dan keruhnya perairan menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan laut. Hal ini sangat dirasakan oleh para nelayan yang beroperasi di sekitar daerah konsesi penambangan pasir laut, baik di Kec. Tirtayasa Kab. Serang, Banten maupun di Provinsi Riau. Banyak sekali nelayan yang biasanya mendapat hasil yang banyak, kini hanya mendapatkan hasil yang sedikit atau bahkan pulang dengan tangan hampa.

Seperti diungkapkan Zainal, biasanya sejumlah 5-6 kg ikan/hari bisa dia dapatkan, tapi kini hanya mampu 0,5-1 kg/hari. Lain lagi dengan Sahemat dan Amran, biasanya mereka mengantongi Rp 50-70 ribu/hari, kini hanya mendapat belasan ribu saja. Begitu pula Soleh sang petani rumput laut, dia mengaku hanya mendapat puluhan ribu saja per bulan, padahal tadinya dia mampu mendapat sekitar Rp. 500 ribu/bulan. Bahkan tidak sedikit pula yang kini sama sekali menganggur. Situs Walhi kembali secara detail melaporkan dampak penambangan pasir laut ini terhadap beberapa koresponden di Riau (https://www.walhi.or.id/kampanye/pela/ reklamasi/).

Pengaturan Pasir Laut

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini sebetulnya cukup serius. Terbukti dengan diterbitkannya Inpres No. 2 tahun 2002 tentang Pengendalian Penambangan Pasir Laut, Keppres No. 33 tahun 2002 tentang Pembentukan dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut sebagai dasar dibentuknya Tim Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut (TP4L), Surat Keputusan Memperindag tentang Kuota Pasir laut, Harga Pasokan Ekspor (HPE) Pasir Laut, Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut, dsb.

Namun euforia otonomi daerah membuat masing-masing provinsi merasa memiliki kebijakan sendiri untuk mengatur wilayah lautnya. Sebut saja Riau, setelah otonomi diberlakukan pada 1 Januari 2001, Gubernur Riau, Bupati Karimun, dan Bupati Kepri, saling berlomba mengeluarkan izin konsesi tanpa mengacu pada konsesi yang telah ada. Hingga April 2001, telah lebih dari 300 izin eksplorasi konsesi pertambangan diterbitkan. Akibatnya, satu konsesi menindih konsesi yang lain dan memicu konflik antar pengusaha.

Bisnis Pasir Laut di Banten

Di Provinsi Banten sendiri, bisnis pasir laut terkonsentrasi di Kab. Serang, tepatnya di Desa Lontar, Kec. Tirtayasa, dan salah satu perusahaan yang dikenal oleh masyarakat adalah PT. Jetstar. Sebenarnya masih ada beberapa perusahaan lain yang sudah mengantongi dan sedang mengajukan ijin AMDAL dari Kementrian Lingkungan Hidup untuk melakukan eksploitasi pasir laut di bumi Sultan Ageng Tirtayasa ini seperti pada tabel di bawah ini:


Ada juga perusahaan yang sempat diproses untuk mendapatkan ijin tambang dari Pemkab Serang yaitu PT. Bumi Ayu Tirtayasa clan PT. Samudera Jaya Banten. Perusahaan yang terakhir ini sempat mengajukan ijin untuk menambang pasir laut di Kawasan Cinangka, perairan Selat Sunda.

Belum banyak data yang diperoleh mengenai nilai ekonomi yang diperoleh oleh Pemkab Serang atas konsesi yang diberikan kepada perusahaan tambang pasir laut itu. Situs Kompas edisi 01 Mei 2004 menyebutkan bahwa Pemkab Serang mendapat pemasukan dari PT. Jetstar untuk perjanjian enam bulan pertama (Oktober 2003-Maret 2004) sebesar Rp 600 juta atau kurang dari Rp 1 miliar, namun tidak disebutkan berapa volume pasir yang diekspor dari nilai tersebut.

Yang lebih sering menyeruak ke permukaan adalah justru ekses-ekses negatif dari aktifitas tersebut, seperti terjadinya abrasi, bekurangnya tangkapan ikan yang berimplikasi pada turunnya mata pencaharian nelayan, dsb. Demonstrasi terjadi hampir setiap tahun, konflik vertikal masyarakat versus Pemkab terus berlanjut. Hal ini memerlukan kajian yang lebih mendalam mengenai aktifitas ini.

Kesimpulan dan Saran

Apabila dikembalikan kepada pendapat para pakar, sebenarnya penggalian pasir laut itu bisa saja dilakukan, namun tentunya dengan persyaratan yang sangat ketat dan monitoring yang berkelanjutan. Selain itu, proses penyusunan amdal, kajian mitigasi dan detil operasional penambangan harus dijelaskan secara rinci.

Langkah-langkah untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan harus dijelaskan secara gamblang baik sebelum, sewaktu maupun setelah melakukan aktifitas penambangan. Opsi-opsi tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi penyimpangan kejadian di lapangan harus juga dirinci dalam prosedur yang jelas. Tahapan-tahapan mobilisasi dan demobilisasi alat, penyedotan, pengangkutan, penimbunan (dumping), bahan dan alat yang digunakan, waktu operasi, jumlah kapal, jumlah awak, jumlah kuota volume, prosedur keselamatan, sistem monitoring, proses rehabilitasi dan rekonservasi pasca penambangan serta hal-hal detail lainnya harus dijelaskan dalam dokumen amdal dan SOP (Standard Operating Procedures).

Tidak kalah pentingnya adalah penentuan daerah konsesi harus didasarkan pada kajian yang komprehensif yang dilengkapi dengan model matematis dinamika arus dan dipadukan dengan prinsip-prinsip mitigasi. Juga opini dan dukungan masyarakat sekitar perlu mendapat porsi yang besar, karena masyarakat adalah salah satu icon penting dalam penyusunan Environmental Impact Assessment (EIA) atau yang kita kenal dengan Dokumen Amdal.

Tidak ketinggalan pula konsep perusahaan mengenai community development beserta jumlah dananya pun harus disepakati. Pada tataran ini, pemerintah harus sedemikian rupa berpihak pada kepentingan masyarakat. Secara simultan perlu pula dibenahi peraturan-peraturan yang menyangkut perijinan, persayaratan ekspor-impor, retribusi, pajak, serta kewajiban-kewajiban lain harus dijelaskan secara akurat dalam peraturan yang mengikat.

Akhir kata, paradigma pembangunan kelautan dan perikanan salah satunya dengan memanfaatkan pasir laut sebagai salah satu sumber keuangan negara yang mengundang devisa, tidak serta merta meluluhlantakkan sejumlah potensi sumberdaya alam lainnya, apalagi harus mengorbankan kehidupan masyarakat nelayan yang sehari-harinya justru bergantung pada eksosistem tersebut.**)

(Sumber: Situs Media Indonesia, Kompos, Republika, Koran Tempo, Pikiran Rakyat Walhi, Forek Kelautan Indonesia, Jaringan Advokasi Tambang, Kementrian LH dan Bapedal-Jatim Online).

Penerapan Konsep “Community Development” pada Masyarakat Pesisir

(Sebuah Wacana untuk Pengembangan Progam Mitra Bahari (PMB)

Oleh: Endan Suwandana, S.T., M.Sc.

Dimuat pada: Buletin Samudera Biru Edisi I Tahun IV/2006

Seiring dengan berkembangnya konsep sustainable development, telah banyak terlahir pranata hukum yang menghadirkan standar proteksi SDA dan lingkungan dalam proses pembangunan negara-negara di dunia. Perubahan monumental dari revolusi lingkungan tersebut adalah adanya kewajiban penyusunan Environmental lmpact Assessment (EIA) atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai prasyarat dalam kegiatan pembangunan. Regulasi inilah yang telah menyelamatkan wajah dunia dari dampak negatif pembangunan yang bersifat eksploitatif.

Hak-hak inheritance

Pada tataran dunia, sebuah organisasi internasional untuk standarisasi (ISO) telah menyumbangkan kontribusi berharga dalam perlindungan lingkungan. Organisasi ini yang pada awalnya terfokus pada standar kualitas produk, lalu berkembang pada standar proses produksi dan sistem produksi (termasuk manajemen) melalui ISO 9000 yang spektakuler, pada akhirnya telah mengembangkan standar itu pada concern lingkungan melalui ISO 14000.

Sertifikat ISO 14000 ini merupakan akreditasi internasional atas perlakuan kegiatan usaha terhadap lingkungan hidup, yaitu dengan mewajibkan penerapan Environmental Management System dalam proses produksinya. Sertifikat ISO yang melegenda itu secara tidak sengaja telah menjadi "defacto requirements" untuk melakukan bisnis di Eropa, Amerika dan bagian dunia lainnya.

Dalam perkembangannya, ada hal-hal pokok yang masih belum terakomodir secara eksplisit baik dalam konsep AMDAL maupun ISO 14000, yaitu hal-hal yang terkait dengan hak-hak asasi masyarakat lokal (local society) dan masyarakat suku asli (indigenous people) untuk mendapatkan manfaat dari sebuah kegiatan usaha. Mereka, yang biasanya hidup di bawah batas marginal masyarakat kota, memang terlahir pada wilayah yang terpencil, sarana prasarana yang minim, namun memiliki kenyataan takdir bahwa mereka tinggal dalam ekosistem yang memiliki SDA yang tak ternilai, baik berupa hutan, mineral, minyak, gas bumi dan lain-lain.

Sebenarnya, produk hukum lingkungan di tanah air sudah menyiratkan perhatiannya akan kepentingan masyarakat lokal yaitu pada saat penyusunan dokumen AMDAL (PP No. 27/ 1999 tentang AMDAL, Kepka BAPEDAL No. 08/2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dalam Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL, serta Kepka BAPEDAL No. 09/2000 tentang Pedoman Penyusunan AMDAL). Sayangnya, pelibatan masyarakat lokal dalam penyusunan dokumen AMDAL itu masih bersifat konsultatif dan rekomendatif.

Keberpihakan pada hak-hak asasi masyarakat lokal (human rights on natural inheritance) sebagai spesies inti ekosistem yang seharusnya terimplementasi melalui konsep "pembangunan masyarakat" atau community development (comdev) belum terkristalisasi secara nyata dalam produk hukum lingkungan.

Sungguh beruntung, pada kenyataanya pengakuan akan hak-hak masyarakat lokal sebagai ahli waris alam sekitarnya (natural beneficiaries) pada akhirnya mendapat perhatian dari beberapa perusahaan besar, terutama mereka yang telah mengantongi Sertifikat ISO 14000, melalui program comdev-nya. Walaupun hal ini tidak lebih merupakan tanggungjawab sosial perusahaan, dan bukan menjadi obligatori atas peraturan perundang-undangan.

Sebagai contoh PT. Freeport yang pada tahun lalu telah mengeluarkan 18,7 juta dolar (11% dari pendapatan brutonya). Dana tersebut dialokasikan untuk peningkatan kesehatan, pendidikan, perumahan, sarana prasarana sosial keagamaan, lingkungan, serta pembangunan ekonomi masyarakat lokal. Selain Freeport, masih banyak perusahaan-perusahaan besar seperti Pertamina, Caltex, Power Indonesia, Krakatau Steel, dll yang telah menerapkan program comdev.

Legalitas Comdev

Pengakuan atas hak-hak inheritance yang melekat pada masyarakat lokal dan konsep comdev merupakan dua hal yang tak terpisahkan, yang terus menyeruak dalam diskusi para ahli lingkungan dunia dewasa ini. Pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa masyarakat lokal adalah yang seharusnya pertama kali mendapat manfaat langsung dari kegiatan pembangunan, khususnya yang berkaitan dengan eksploitasi SDA di lingkungannya, sebelum kelompok masyarakat lain. Eksistensi mereka lebih harus dihargai karena mereka adalah spesies utama ekosistem.

Pemanfaatan SDA berprinsip pada pendekatan ekosistem (ecosystem approach) yang memandang bahwa ekosistem memiliki batas-batas ekologis dimana elemen-elemen di dalamnya akan mendapat dampak dari sebuah kegiatan usaha pada lokasi tertentu. Pemahaman ini sebenarnya sudah menjadi ketentuan dalam peraturan perundangan. Namun kenyataannya, pendekatan kluster (cluster approach)-lah yang lebih sering terjadi di lapangan. Dalam arti, apabila suatu area tertentu telah dikuasai, baik berupa status hak milik, hak guna pakai atau lainnya, maka area yang berada di luar kawasan itu menjadi out of bussiness. Ini merupakan dampak arogansi kapitalisme dalam pengelolaan SDA.

Prinsip yang terus dibangun oleh para ahli lingkungan dewasa ini adalah bagaimana sebuah kegiatan usaha dapat memelihara atau bahkan meningkatkan kondisi masyarakat lokal. Hal inilah yang mendasari visi dari prinsip tersebut. Ide utamanya adalah bahwa komunitas lokal beserta seluruh anggotanya harus dapat memelihara hubungan resiprokal, yang produktif dan harmonis dengan ekosistemnya melalui sistem partisipasi yang terlembaga, dimana komunitas lokal itu memelihara ekosistemnya dan ekosistem tersebut memelihara mereka.

Comdev dan penghargaan atas hak-hak inheritance mungkin masih merupakan barang baru bagi perusahaan menengah dan kecil yang melakukan eksploitasi SDA. Namun upaya untuk mengimplementasikan konsep tersebut merupakan tren dunia pada beberapa tahun ke depan, baik melalui jalur intelektual maupun politik, tak terkecuali pada penyempurnaan standar ISO maupun standar sertifikasi dokumen lingkungan lain seperti AMDAL (Meidinger E. Errol, Private Environmental Regulation, Human Rights and Community, 1998).

Sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan konsep comdev menjadi bagian penting yang secara eksplisit dijelaskan dalam Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) yang menjadi bagian AMDAL. Bagi kegiatan usaha yang tidak memerlukan studi AMDAL, maka konsep comdev tersebut perlu menjadi bagian dalam dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UPL)-nya. Hal ini merupakan wujud keberpihakan kegiatan usaha berbasis SDA pada hak-hak inheritance masyarakat lokal sekaligus menjadi momentum perubahan paradigma pengelolaan lingkungan hidup.

Penyempurnaan Peraturan Daerah

Titik tolak perubahan paradigma pengelolaan lingkungan hidup itu harus dimulai dari penyempurnaan peraturan perundang-undangan. Setelah mengkaji seluruh perda Provinsi Banten termasuk perda-perda kabupaten/kota yang berkaitan dengan lingkungan hidup, ternyata keberpihakan terhadap masyarakat lokal dalam arti penghargaan atas hak-hak inheritance mereka belum terakomodasi dengan baik.

Mayoritas produk hukum itu lebih terkonsentrasi pada peran serta masyarakat yang bersifat konsultatif dan rekomendatif seperti Kepgub Banten No. 660/Kep.103-Birhuk/2001 tentang Komisi AMDAL Daerah, atau peran serta masyarakat yang bersifat evaluatif dan monitoring seperti Kepgub Banten No. 19/2005 tentang Tata Cara Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup, serta Perda Kota Cilegon no. 02/2004 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Pasal 23, 24, 25 yang menjamin hak masyarakat dan organisasi masyarakat untuk melakukan gugatan terhadap kerusakan lingkungan.

Perda Kab. Serang No. 5/2001 tentang Pengelolaan Kawasan Pantai juga belum cukup mampu mengakomodasi konsep comdev serta partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, perda ini pun belum berhasil mengangkat konsep kompensasi atas pemanfaatan lahan negara di bibir pantai, terkait dengan Keppres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Undung pasal 14 yang mengatur ketentuan sempadan pantai yang merupakan kawasan lindung yang lebarnya minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Tentu disadari bahwa dari sudut padang estetika, akan ada pengecualian terhadap pemanfaatan sempadan pantai pada lokasi-lokasi tertentu. Namun sayangnya, konsep kompensasi atas pengecualian itu terhadap hak-hak inheritance masyarakat lokal belum terwakili.

Sebenarnya, motivasi ke arah "pembangunan masyarakat lokal" sudah terdapat pada beberapa peraturan, sebagai contoh adalah Kepgub Banten No. 23/2002 tentang Uraian Tugas dan Tata Kerja BAPEDALDA Pasal 10 ayat 2c yang menghendaki adanya peningkatan kegiatan kemtriaan lembaga non-formal (peran serta masyarakat) dan pengelola lingkungan. Contoh lain adalah Perda Kab. Lebak yang dinilai cukup inovatif karena mampu menyebut secara eksplisit peran sektor swasta dalam pengelolaan lingkungan, yaitu Perda No. 42/2001 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pada Kegiatan Usaha. Aturan ini secara sadar memahami bahwa setiap kegiatan usaha pada dasarnya akan menimbulkan perubahan lingkungan sehingga perlu diupayakan langkah-langkah pengendalian melalui pengelolaan secara terarah dan terpadu guns mewujudkan kesinambungan ekosistem lingkungan (lihat konsideran "Menimbang"pada perda tersebut).


Namun sayang, perda ini pun telah gagal menjelaskan konsep pengelolaan lingkungan yang tuntas dan komprehensif. Seperti pasal 5 yang berbunyi "khusus untuk wilayah pertambangan yang berada dalam kawasan hutan, diwajibkan melaksanakan reklamasi". Hal ini jelas-jelas belum sepenuhnya sejalan dengan semangat sustainable development, karena reklamasi hanyalah salah satu bagian dari proses rekonservasi dan rehabilitasi pada akhir kegiatan usaha (decommisioning). Sementara, proses rekonservasi dan rehabilitasi itu sendiri tidak dijelaskan secara jelas. Sebuah pemerkosaan terhadap lingkungan. Apalagi ketentuan mengenai hak-hak inheritance masyarakat lokal dan konsep comdev-nya menjadi sesuatu yang absurd karena tidak berhasil diangkat secara eksklusif pada pasal-pasalnya. Ilustrasi di bawah ini seharusnya menjadi bahan renungan.

Sungguh suatu pemandangan memilukan ketika bocah-bocah kecil yang tinggal di pinggiran hutan pergi ke sekolah dengan berseragam putih merah yang usang, dengan beralaskan sandal penuh lumpur, menempuh jalan desa yang jauh, licin dan berbatu penuh semangat meraih masa depan. Dalam perjalanan itu, disaksikannya deru mesin pemotong kayu dan riuh buldoser merambahi hutan dan mineral, merusak tanah adat tempat mereka bermain. Sebuah destini hidup dalam ekosistem yang kaya akan SDA, yang secara psikologis dan sosiologis seharusnya dapat turut mensejahterakan mereka.

Sebenarnya, Perda Kab. Lebak No. 42/2001 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pada Dunia Usaha merupakan sebuah inisiasi yang membuka peluang ke arah pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik bersama dunia usaha. Namun pada prakteknya ternyata belum seperti yang diharapkan.

Salah satu contoh aplikasi yang mungkin dapat dicoba adalah penerapan konsep comdev pada masyarakat pesisir. Sebuah ironi ketika melihat kenyataan bahwa pengembangan kawasan pariwisata yang bersih dan rapi, tak jarang diwarnai dengan antagonisme pemandangan kumuh dan kotor masyarakat nelayan. Padahal kedua aktifitas itu berada pada suatu batas ekosistem yang saling terinterkoneksi. Hal ini merupakan suatu pemandangan yang biasa terlihat di negeri ini, tak terkecuali di Provinsi Banten.

Upaya pemerintah dalam penataan lingkungan masyarakat nelayan baik dalam bentuk pembinaan, penguatan kelembagaan, pembangunan partisipasi, penciptaan pranata hukum dan social setempat, pendampingan LSM, Gerakan Bersih Pantai (GBPL), pengadaaan sarana kebersihan hanyalah bersifat stimulan yang perlu didukung oleh program comdev dari dunia usaha.

Sungguh indah apabila keserasian cara pandang pemerintah dan dunia usaha terhadap masyarakat lokal sebagai bagian dari ekosistem, yang dikelola dalam sebuah sistem pengelolaan lingkungan hidup yang terlembaga, mampu merubah wajah pesisir pantai menjadi lebih indah.**)

Menyikapi Ancaman Tsunami

Oleh: Endan Suwandana, ST., M.Sc.

Dimuat di Harian Fajar Banten, 25 Juni 2005

BENCANA adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, dan salah satu bentuk peringatan dari Yang Maha Kuasa yang dipergilirkan-Nya di antara manusia agar mereka sadar dan kembali ke jalan-Nya. Sadar akan tingkah laku buruk terhadap dirinya sendiri, masyarakat maupun terhadap alam lingkungannya. Tidak menutup kemungkinan, bencana pun bisa saja merupakan azab bagi umat manusia.

Tidak ada waktu bagi manusia untuk merasa aman dari bencana. Bencana itu bisa datang ketika kita tidur atau terjaga. Bencana bisa disebabkan oleh kelalaian diri sendiri atau orang lain. Contohnya, bagaimanapun cekatan dan disiplinnya seseorang berkendaraan di jalan, namun tidaklah orang tersebut 100% aman (totally secured) dari bencana, karena masih ada faktor eksternalitas yang berada di luar kontrolnya.

Berkaitan dengan bencana yang disebabkan oleh alam dan lingkungan (natural disaster), potensi bencana ini terdapat hampir di setup sudut bumi, baik di darat maupun taut. Sebut saja gunung berapi, longsor, banjir, angin ribut, badai, abrasi, penyebaran penyakit, gempa bumi, tsunami, dll.

Indonesia terletak pada gugusan gunung berapi (the Pacific ring of fire) di mana terdapat 240 gunung berapi yang tersebar mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Flores, dan Sulawesi, 70 diantaranya masih aktif dan berpotensi menimbulkan gempa dan letusan. Indonesia juga merupakan daerah yang berkelembaban tinggi, sehingga potensi hujan, banjir, dan longsor relatif tinggi. Indonesia pun merupakan daerah yang hangat dan berawa-rawa, sehingga penyebaran penyakit seperti demam berdarah dan malaria juga tinggi.

Pendek kata, potensi bencana itu ada dimana-mana dan kita tidak mampu secara total mengelak darinya. Dengan demikian, kita tidak perlu lari atau memperbesar rasa takut, namun justru yang harus dilakukan adalah bagaimana mempersiapkan diri dengan baik dan menyikapi potensi ancaman bencana itu dengan arif dan bijaksana.

Pelajaran dari Aceh

Bencana tsunami 26 Desember 2004 telah membelalakkan mata seluruh dunia. Betapa tidak, dalam beberapa menit saja sejumlah 218.453 orang tercatat tewas, lebih dari 252.000 orang lainnya diduga tewas, 510.000 orang luka-luka dan 40.000 orang dinyatakan hilang. Belum termasuk harta benda, rumah, persawahan, infrastruktur serta seluruh roda kehidupan dan perekonomian mati dalam sekejap.

Tidak hanya di Indonesia, kedahsyatan gelombang itu terasa sampai di 14 negara Asia dan Afrika yang jaraknya ribuan kilometer dari pusat gempa. Sebagai ilustrasi, di Madagaskar, sebuah negara di Afrika, 1.200 warganya kehilangan tempat tinggal, apalagi kerugian yang diderita oleh negara-negara yang lebih dekat seperti Thailand, Sri Lanka, India, tentu lebih besar lagi.

Di Aceh dan Sumut sendiri kerugian materil ditaksir mencapai 42,7 triliun, 1,3 juta bangunan hancur, 92% sistem sanitasi rusak, 7.000 nelayan kehilangan mata pencaharian, 90% prasarana perikanan porak poranda, beberapa desa pesisir rata tak berwujud, Meulaboh kehilangan 80% penduduknya dan masih banyak lagi. Semua itu terjadi hanya dalam waktu kurang dari 1 jam. Sungguh sebuah fenomena alam yang memilukan yang pemah disaksikan manusia.

Itu semua terjadi karena sebuah gelombang raksasa tsunami yang didahului oleh gempa tektonik dasar laut berkekuatan 9 SR. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, itulah gambaran saudara-saudara kita di sana. Bayangkan, gempa bumi itu sendiri sudah merupakan bencana dahsyat yang menghancurkan gedung-gedung, lalu disusul oleh gelombang tsunami yang diperkirakan berkecepatan 800-900 km/jam di laut setara dengan kecepatan pesawat jet (setelah mencapai daratan menjadi 25-60 km/jam).

Tinggi gelombang tsunami (run-up) di tepi pantai tercatat setinggi 34 m, sehingga air bah itu merangsek sampai 10 km ke arah daratan menghancurkan apa saja yang menghalangi. Beberapa perahu tersangkut di atap, rumah, kapal tanker bertonase besar naik ke daratan. Bahkan di Sri Langka, gelombang yang datang setelah 2 jam itu mampu memindahkan beberapa gerbong kereta api sejauh 10 m dari relnya.

Sebagai kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, Indonesia ditakdirkan terletak pada daerah rawan tsunami yang tersebar di seluruh pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa (termasuk Banten tentunya), Bali, Lombok, Timor, Sulawesi, Maluku sampai Papua. Kawasan itu merupakan pertemuan tiga lempeng (triple junction plate convergence) yaitu lempeng Eurasia, Samudera Pasifik dan Indo-Australia yang terus bergerak beberapa sentimeter per tahun.

Para peneliti mencatat bahwa dari tahun 1960-2005 telah terjadi 20 kali tsunami di Indonesia, dengan interval rata-rata 2,5 tahun sekali. Yang paling dahsyat adalah tsunami Aceh (2005), lalu tsunami Flores (1992) yang menewaskan 1.952 orang dan 2.126 luka-luka dengan ketinggian run-up 11,2-26,2 m, disusul tsunami Biak (1996), Banyuwangi (1994), Tambo (1968), Sumbawa (1977), Maliabu (1998), Banggai (2000), dll.

Menurut sejarah, di Banten sendiri telah terjadi tsunami pada tahun 1883 akibat letusan Gunung Krakatau. Gelombang tsunami itu tercatat paling tinggi di Indonesia dengan run-up setinggi 41 m, menewaskan 36.417 orang, 18 km3 batuan terlempar ke udara, hujan abu mencapai ketinggian 80 km menutupi 827.000 km2 mengakibatkan 22 jam gelap total dan letusannya terdengar sampai 4.500 km.

Manajemen Resiko Bencana

Sebelum tragedi Aceh, masyarakat luas pada umumnya hanya mengetahui bencana seperti banjir, longsor, gempa bumi, dll, namun tidak pernah tahu apa itu tsunami. Pemerintah kurang memberikan pengetahuan kepada masyarakat akan potensi, sifat, serta ciri-ciri tsunami. Padahal tanda-tanda akan datangnya tsunami di Aceh telah nampak di depan mata, namun masyarakat hanya terpaku oleh kekuatan gempa tektonik yang mengguncang, bahkan sebagian lain malah asyik mengambil ikan-ikan yang menggelepar akibat surutnya air taut secara tiba-tiba. Padahal, di dasar taut sana telah tercipta sebuah kekuatan raksasa yang akan menggulung mereka. Sehingga ketika gelombang itu datang, ratusan ribu orang tiba-tiba telah menjadi mayat.

Sebenamya para peneliti dan akademisi kelautan dan geologi telah memperingatkan akan ancaman bencana itu dalam, beberapa forum ilmiah. Namun sayang, bencana itu datang sebelum pemerintah melakukan transfer informasi kepada masyarakat luas. Untuk itu, kita tidak ingin terperosok ke dalam lubang yang sama. Bagaimanapun masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi seluas-luasnya mengenai potensi bencana di daerahnya serta langkah-langkah persiapan yang perlu dilakukan.

Dalam hal ini, pemerintah dan masyarakat harus merubah paradigma penanganan bencana dari penerapan manajemen krisis (crisis management) yaitu penanganan yang lebih ditekankan pada saat dan setelah terjadi bencana menjadi manajemen resiko (risk management), yaitu konsep pengelolaan bencana terpadu mulai dari sebelum, saat, dan setelah terjadi bencana.

Kegiatan sebelum bencana terdiri dari pencegahan (prevention), mitigasi (mitigation) dan kesiapsiagaan (preparedness). Kegiatan pada saat terjadi bencana adalah tanggap darurat (emergency response). Adapun kegiatan setelah terjadi bencana terdiri dari perbaikan (rehabilitation) dan pembangunan kembali (reconstruction). Konsep ini perlu diterapkan bukan hanya untuk bencana tsunami saja, melainkan untuk seluruh potensi bencana yang ada di suatu daerah.

Contohnya adalah banjir. Dalam mengelola ancaman bencana ini, pemerintah bersama masyarakat perlu melakukan upaya sebelum terjadi bencana yaitu pencegahan banjir (prevention). Lalu pemerintah perlu menginformasikan tentang daerah rawan banjir beserta tanda-tanda kedatangannya (mitigation), mempersiapkan rute dan lokasi evakuasi, menyiapkan perahu karet, tenda, logistik makanan, perlengkapan teknis lain yang semua itu harus selalu tersedia pada masa-masa aman (preparedeness).

Selain itu perlu pula diciptakan suatu sistem peringatan dini banjir yang akan memberikan peringatan melalui sirine, radio atau SMS ketka bencana banjir diperkirakan akan tiba. Tentunya sistem ini memiliki sensor yang secara kontinyu memantau faktor-faktor penyebab banjir seperti curah hujan, ketinggian air sungai dan danau, dll.

Seperti halnya banjir, manajemen resiko, tsunami pun perlu direncanakan dengan baik. Rencana pengelolaan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam rencana jangka pendek dan jangka panjang. Sebagai bagian dari rencana jangka pendek, upaya-upaya non-fisik perlu lebih diutamakan daripada upaya-upaya fisik, karena selain biayanya relatif lebih murah, upaya-upaya non-fisik ini memiliki urgensi lebih tinggi dalam mendidik dan mempersiapkan masyarakat akan ancaman tsunami yang bisa terjadi setiap saat.

Upaya-upaya non-fisik itu meliputi pendidikan, penyadaran masyarakat, pelatihan evakuasi, penentuan tata ruang dan zonasi, pengelolaan wilayah pesisir terpadu (integrated coastal zone management), penyebaran informasi melalui pamflet, pembuatan tanda rute evakuasi, penentuan lokasi evakuasi, dan penciptaan sistem peringatan dini tsunami (Tsunami Early Warning Systems / TEWS).

Sebagai upaya pemenuhan hak asasi warga negara yaitu hak untuk memiliki rasa aman terhadap ancaman bencana, maka pemerintah perlu melakukan transformasi informasi kepada masyarakat tentang sifat dan karakteristik tsunami di Indonesia, termasuk informasi rute dan lokasi-lokasi evakuasi. Inilah salah satu diantara yang paling penting dalam pengelolaan manajemen resiko bencana.

Ada satu fenomena di Pulau Simeuleu yang menarik. Pulau yang paling dekat (60 km) dari pusat gempa. Aceh ini berpenduduk 73.000 orang, 3.368 diantaranya hidup di kawasan pesisir, namun hanya 6 orang saja yang tercatat tewas. Padahal seperti lokasi lain, pulau ini pun hancur lebur oleh tsunami. Semua bangunan, pemukiman, sekolah, perkantoran, persawahan, tambak ikan, pelabuhan, irigasi, perahu nelayan semuanya rata dengan tanah. Satu-satunya gedung yang masih bertahan adalah sebuah mesjid.

Namun, ternyata budaya "seumong" yang artinya air laut pasang telah menyelamatkan mereka dari hantaman tsunami. Budaya ini telah diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang mereka. sehingga ketika air laut tiba-tiba surut, mereka langsung berteriak "seumong" dan segera lari ke perbukitan. Inilah salah satu bentuk kearifan lokal (local knowledge) yang harus dikembangkan oleh pemerintah di daerah lain.

Menurut para ahli, ada tiga syarat penting pemicu gelombang tsunami di Indonesia yaitu adanya gempa bumi berkekuatan minimal 6,5 SR yang terjadi pada kedalaman laut kurang dari 60 km dan menghasilkan deformasi vertikal dasar laut lebih dari 2 m. Apabila ketiga kondisi itu terpenuhi, maka gelombang tsunami akan tiba di tepi pantai dalam waktu 10-30 menit setelah terjadi, karena Indonesia tergolong kawasan yang dekat dengan sumber potensi gempa (near field tsunami). Berbeda dengan Thailand, Sri Langka dan 14 negara lain yang terkena tsunami Aceh, negara-negara itu walaupun tidak merasakan gempa bumi, namun gelombang tsunami datang 1-5 jam setelah gempa terjadi (far field tsunami).

Berkaitan dengan waktu singkat yang tersedia (10-30 menit), maka sistem peringatan dini tsunami (TEWS) perlu dipasang pada jalur rawan tsunami (termasuk Banten). Saat ini, lembaga riset seperti BPPT, BMG, LIPI, dll sedang berusaha menciptakan TEWS ini sehingga apabila sebuah gempa terjadi, masyarakat segera mendapatkan kepastian untuk melakukan tindakan evakuasi atau tidak.

Instansi terkait dalam hal ini BMG, hanya memiliki waktu yang sempit untuk menentukan 3 syarat pemicu tsunami yaitu kekuatan dan episentrum gempa, serta ada tidaknya deformasi vertikal dasar laut. Apabila positif, maka BMG akan mengirimkan pesan ke setiap provider (idealnya dimiliki oleh setiap provinsi/daerah rawan tsunami), lalu provider itu secara otomatis akan menghidupkan sirine di setiap tempat serta mengirimkan pesan SMS.

Untuk rencana jangka panjang, upaya-upaya fisik seperti pemecah gelombang (breakwater), tembok laut (seawall), tempat perlindungan (shelter), penguatan bangunan (retrofitting), bukit buatan (artificial hill), rehabilitasi vegetasi pantai (greenbelt), dll dapat diterapkan. Tentu investasi yang dikeluarkan untuk upaya-upaya fisik ini sangat mahal dan memerlukan waktu yang relatif lebih lama.

Dari beberapa pilihan tersebut, rehabilitasi vegetasi pantai dan pembuatan bukit buatan adalah yang lebih layak untuk dipilih. Tentunya upaya ini perlu diiringi dengan peningkatan kesadaran masyarakat untuk lebih mencintai dan merasa memiliki akan alam lingkungannya.
Kedua upaya ini pulalah yang menjadi pilihan pemerintah untuk diterapkan di Aceh, karena terbukti di beberapa lokasi bahwa vegetasi pantai mampu meredam kekuatan gelombang tsunami dengan tingkat kehancuran rumah/bangunan yang lebih rendah. Apabila diperlukan, upaya fisik lain seperti pembuatan seawall, shelter, breakwater, retrofitting dapat dibangun untuk melindungi sarana/prasarana vital pemerintah dan investasi yang mahal.

Namun perlu disadari bahwa upaya apapun yang ditempuh tidak dapat menghilangkan ancaman tsunami itu secara mutlak mengingat sifat dan kekuatan gelombang itu yang berbeda-beda. Namun demikian, melalui upaya-upaya tersebut diharapkan dampak kerugian dan jumlah korban akan dapat ditekan seminimal mungkin.**)

Minggu, 26 April 2009

Ada Bisnis Rumput Laut di Cigorondong !

Oleh: Endan Suwandana, S.T., M.Sc.

Dimuat pada: Buletin Samudera Biru Edisi IV, Desember 2008

Ada geliat bisnis di Cigorondong. Ya, geliat bisnis budidaya rumput laut. Desa Cigorondong yang lumayan terpencil itu memiliki potensi lahan budidaya laut yang cukup menjanjikan. Seandainya saja kita memiliki jalan raya lintas pantai selatan, tentu daerah itu sudah berkembang sejak lama.

Sejak dahulu, Cigorondong menjadi incaran banyak orang untuk berusaha budidaya laut. Bahkan menurut masyarakat sekitar, sejak pertengahan tahun 90-an sudah ada yang pernah mencoba budidaya rumput laut. Namun saat itu, jauhnya jarak dan kondisi jalan yang selalu rusak menjadi kendala transportasi. Padahal daerah ini, menurut hasil penelitian beberapa lembaga, merupakan lokasi yang cukup potensial, masih alami, dan memiliki kualitas air nomor wahid.

Pada awal November 2008 lalu, gairah itu telah muncul kembali. Seorang investor telah menanamkan modalnya untuk memulai usaha budidaya rumput
laut jenis Euchema cottonii dengan melibatkan masyarakat sekitar. Lokasinya dipilih dekat Legon Guru Desa Cigorondong Kec. Sumur dan di sekitar Pulau Liwungan di Kec. Panimbang. Untuk yang di P. Liwungan baru difokuskan untuk pembibitan saja, sedangkan pembesarannya dilakukan di Cigorondong.

Budidaya ini menerapkan sistem long-line (rawai). Saat ini terdapat 12 kotak rawai di Cigorondong, masing-masing berukuran 40 x 40 m. Jarak antara rawai (tali) adalah 1 m. Pada setiap rawai terdapat 120 titik, dimana pada masing-masing titik diikatkan bibit rumput laut seberat 100-150 gram. Sehingga dalam satu unit kotak budidaya terdapat sekitar4800 titik ikatan.

Sedikit berbeda, untuk yang di P. Liwungan terdapat 20 rakit bambu masing-masing berukuran 5 x 7 m. Jarak antara rawai (tali) adalah 1 m, sementara jarak antar ikatan bibit lebih rapat yaitu 20 cm, karena memang rakit-rakit ini akan difokuskan untuk kebun bibit rumput laut saja. Bibit yang digunakan adalah berasal dari Lampung, Pulau Panjang serta dari lokasi setempat.
Selain 15 warga sekitar yang dipekerjakan sebagai karyawan dan mendapat gaji bulanan, masyarakat lain pun mendapat keuntungan dengan bekerja pada saat pembuatan jalur-jalur, pengangkutan ke lahan dan pemanenan. Ibu-ibu pun ikut merasakan manfaat dengan mengikat bibit rumput laut pada tali-tali rawai dengan upah Rp. 4000,- / rawai. Lumayan lah buat ukuran warga setempat.

Dalam waktu 45 hari ke depan, diharapkan usaha ini akan menghasilkan sekitar 80 ton rumput laut basah. Sebagian besarnya dikeringkan dan sebagiannya dijadikan bibit kembali. Diperkirakan sekitar 8 ton rumput laut kering akan dihasikan. Jika harga rumput laut kering di pasaran saat ini Rp 9.000/kg, maka penghasilan yang akan diperoleh adalah sekitar Rp. 72 juta setiap 45 hari.

"Usaha ini dikepalai oleh seorang manager area dengan mendapat bimbingan teknis dari ahli rumput laut dari Dinas Kelantan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten" Demikian diungkapkan Eddy Rosa Subagyo, Kepala Bidang Bina Usaha DKP Banten.

Usaha ini cukup terbilang mudah, murah dan teknologi sederhana, sehingga sangat cocok untuk dikembangkan oleh masyarakat sekitar, apalagi lokasinya sangat memungkinkan. Alat dan bahan yang digunakan hanya tali, jangkar, pelampung (jirigen dan botol plastik bekas) serta bibit rumput laut. Lokasi tidak perlu terlalu dalam, terlindung dan terdapat cukup arus.

Arjaya, seorang tokoh setempat mengungkapkan: "Usaha ini sangat menguntungkan bagi masyarakat, karena dengan pengikatan bibit saja ibu-ibu sudah mendapat tambahan penghasilan. Apalagi kalau bisa terus sampai panen. Wah, bisa mengurangi pengangguran".

Harapan ke depan, masyarakat setempat bisa terlibat dalam proses budidaya. Sehingga investor akan menjadi Inti dan masyarakat menjadi Plasma. Sehingga nanti akan dikembangkan pola kerjasama Inti Plasma. Kalau berhasil, tidak menutup kemungkikan investor akan mendirikan pabrik pengolahan rumput laut menjadi bahan setengah jadi berbentuk chip di Cigorondong.

Apalagi, saat ini Indonesia diberikan kuota untuk ekspor rumput laut sebesar 15% dari kebutuhan dunia. Dimana sampai saat ini, kita belum mampu memenuhi kuota itu sepenuhnya. Bukankah ini sebuah harapan untuk masyarakat Cigorondong....??!. Tinggal bagaimana kita mengolahnya !!.***

Senin, 20 April 2009

Membumikan Hari Bumi

Oleh: Endan Suwandana, ST. M,Sc.

“Everyday is Earth Day”. Itulah di antara slogan yang digagas para penggiat lingkungan di Amerika dalam rangka membumikan Hari Bumi. Slogan-slogan diciptakan untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya memelihara lingkungan. Di antaranya “Save Our Seas”, “Green Revolution”, “No pollution, No smoke, No trash”, “Hutan Titipan Anak Cucu”, “Ayo Mem-bumi, Jangan Bikin Polusi!” dan berbagai slogan lainnya.

Setiap tanggal 22 April, para konservatoris berupaya menciptakan gagasan agar Hari Bumi betul-betul membumi pada masyarakat. Mereka berharap Hari Bumi bukan hanya sekedar peringatan, tapi lebih dapat membangkitkan kesadaran (awareness) dan penghargaan (appreciation) masyarakat pada lingkungan.

Agar Hari Bumi benar-benar dapat membumi pada masyarakat, maka kondisi eksisting ekosistem harus dipublikasikan secara rutin pada media. Melalui upaya ini diharapkan peran serta masyarakat dapat membantu upaya konservasi ekosistem tersebut demi anak cucu kita. Karena pada realitanya tidak sedikit kerusakan lingkungan, kotornya sungai, menumpuknya sampah, menipisnya cadangan ikan dan sebagainya adalah juga akibat ulah kita semua.

Konservasi Hutan

Pada tahun 2006, Forest Watch Indonesia (FWI) menyatakan bahwa luas hutan di Pulau Jawa hanya tersisa 11% dari luas Pulau Jawa. Sementara pada tahun 2007, FAO dalam bukunya State of the World’s Forests, menempatkan Indonesia pada urutan ke-8 sebagai negara dengan luas hutan alam terbesar di dunia. Namun, dengan laju kerusakan hutan yang mencapai 1,87 juta ha dalam kurun waktu 2000 – 2005, justru Indonesia menempati posisi ke-2 dalam hal laju kerusakan hutan.

Di Provinsi Banten sendiri, sedikitnya, 114.000 ha atau 25,7% dari 443.867 ha hutan di Provinsi Banten dalam kondisi kritis. Hal itu karena banyaknya penggundulan hutan yang tidak sebanding dengan upaya reboisasi. Hutan kritis di antaranya terdapat di Kabupaten Lebak 6.030 ha, Pandeglang 6.000 ha, dan Serang 2.400 ha (Kompas, 2007).

Upaya konservasi hutan, walaupun belum berhasil sepenuhnya, tapi telah menjadi agenda semua pihak sejak beberapa tahun lalu. Namun, upaya konservasi seharusnya tidak hanya dilakukan pada kawasan hutan saja. Kita sering melupakan upaya konservasi pada ekosistem lain, padahal jika terabaikan, ekosistem ini pun menyimpan potensi bencana yang sangat besar.

Konservasi Kawasan Situ

Tragedi Situ Gintung telah membelalakkan mata kita semua. Inilah contoh, betapa kita telah melupakan jenis konservasi pada ekosistem lain yang akhirnya membuahkan tragedi. Banjir kali ini berbeda dengan banjir-banjir lainnya. Banjir ini terjadi akibat kita melalaikan konservasi lahan di sekitar kawasan situ/waduk. Luas lahan dikonversi menjadi pemukiman, sehingga tanah di sekitar waduk berselimut beton dan aspal.

Data menunjukan bahwa luas Situ Gintung pada awalnya adalah 31 hektar, namun saat ini menyusut menjadi 21 hektar karena adanya konversi lahan untuk berbagai keperluan termasuk perumahan. Padahal debit air dari dulu sampai sekarang masih tetap sama yaitu 1 juta meter kubik, sehingga volume air menjadi tidak tertampung.

Di kawasan Situ Gintung, konversi tutupan lahan tidak hanya terjadi pada catchment area di hulu, tetapi juga di hilir yang menjadi jalur pembuangan air (spill way). Akibatnya debit air run off semakin melimpah, sementara jalur pembuangan air semakin tersumbat. Diperparah dengan anomali curah hujan di atas rata-rata, bahkan sempat terjadi hujan es, menyebabkan tragedi Situ Gintung jadi sulit dibendung.

Konservasi Kawasan Persawahan

Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah pertumbuhan kota-kota yang menyebabkan lahan persawahan produktif dikonversi untuk perumahan, industri dan pertokoan, seperti terjadi di Tangerang, Serang dan Cilegon. Selain berpotensi terjadinya bencana banjir lokal atau banjir perkotaan, hal ini juga mengancam sistem ketahanan pangan nasional.

Dalam periode 1992-2002, laju konversi lahan nasional mencapai 110.000 ha/tahun, bahkan angka konversi itu melonjak menjadi 145.000 ha/tahun pada empat tahun berikutnya. (Litbang Deptan, 2007). Sebagai contoh di Kabupaten Tangerang, luas areal sawah di wilayah ini tinggal sekitar 41.000 ha. Angka ini turun sekitar 10.000 - 12.000 ha dibandingkan luas tahun 1980-an.

Lembaga Demografi UI memperkirakan bahwa pada tahun 2015 Indonesia membutuhkan sekitar 15 juta ha lahan pertanian untuk menjaga sistem ketahanan pangan nasional. Sementara saat ini kita hanya memiliki sekitar 7 juta ha saja. Untuk itu maka konversi lahan pertanian harus segera dihentikan, kalau tidak ingin melihat anak cucu kita kelaparan. Bila rencana strategis sistem ketahanan pangan nasional tidak dipikirkan sejak saat ini, tidak menutup kemungkinan Indonesia akan mengalami krisis pangan yang hebat pada dekade mendatang.

Pemerintah harus segera melakukan antisipasi dan mitigasi sedini mungkin untuk menghambat perubahan tutupan lahan (land cover) dan penggunaan lahan (land use).

Konservasi Kawasan Pesisir

Jenis konservasi lain yang belum intensif dilakukan walaupun telah sering digaungkan adalah konservasi kawasan pesisir. Ribuan hektar tambak di pesisir pantura merana. Kawasan tambak selebar 1-5 kilometer ke arah darat itu adalah salah satu contoh fragile environment.

Parahnya, kawasan tambak ini hanya dilindungi oleh daratan yang lebarnya sangat tipis. Bahkan di beberapa lokasi, sabuk tipis daratan ini hanya memisahkan darat dengan laut selebar 3-5 meter saja. Celakanya, sabuk tipis ini sebagian besarnya tak dilindungi vegetasi pantai seperti mangrove.

Memang ancaman tambak menjadi lautan bukanlah fenomena dominan. Tapi ketika terjadi campur tangan manusia, misalnya dengan penggalian pasir laut atau pembangunan breakwater, jetty dan bangunan pantai lainnya yang tidak memperhatikan sistem sel pantai (coastal cell system) maka akan menyebabkan polarisasi pola arus yang dapat memicu abrasi. Akibatnya sejumlah tambak akan langsung berubah menjadi lautan, seperti terjadi di beberapa lokasi di pantura.

Di Kabupaten Tegal, abrasi terjadi sepanjang 10 km dan telah menggerus tambak antara 50 - 100 m ke arah darat selama 10 tahun terakhir. Di Kota Semarang lebih dari 100 ha tambak milik warga Mangkang Kulon dan Mangkang Wetan rusak akibat reklamasi dan pembelokan muara Sungai Wakak. Sementara di Kabupaten Tangerang, abrasi telah menghilangkan tanah warga sekitar 11-50 meter ke arah darat seluas 193 ha (Kompas, 2003).

Terobosan dan langkah progresif perlu segera dilakukan, misalnya melalui “kampanye sadar pesisir” yang di-back-up oleh peraturan pemerintah daerah. Peran serta para pemanfaat lahan pesisir seperti industri, pembudidaya, restoran seafood, pengusaha perikanan, pabrik pakan, warga pesisir, maupun masyarakat lainnya perlu disinergikan. Sistem insentif-disinsentif dapat juga diterapkan kepada para pengusaha, asalkan ada good will yang kuat dari pemerintah.

Harga bibit mangrove yang setara dengan 1-2 batang rokok itu, apabila dikampanyekan kepada seluruh warga, kepada seluruh konsumen restoran seafood, tentu akan mampu membangkitkan kepedulian mereka. Kesadaran itu harus tumbuh pada semua lapisan. Bahkan untuk mempermudah upaya kampanye itu, perlu dibuat peraturan semacam instruksi kepala daerah kepada para pemilik lahan yang menguasai sempadan pantai agar merelakan tanahnya untuk dilakukan kegiatan konservasi dan reboisasi.

Hal di atas sesuai dengan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan pasal 51 ayat 3) bahwa “setiap orang dilarang menduduki, merambah, dan melakukan penebangan dalam kawasan radius 130 (seratus tiga puluh) meter kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai”. Hal ini pun sejalan dengan Keppres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang melarang segala aktifitas di sempadan pantai.

Konservasi Sumberdaya Perikanan

Tidak kalah mengkhawatirkannya adalah sumberdaya perikanan dunia yang menurut FAO sudah sangat kritis. Stok ikan dunia sudah 75% dieksploitasi yang menyebabkan overexploited. Bahkan majalah ilmiah “Science” memperkirakan seluruh ikan dan hewan laut akan habis pada tahun 2050-an, jika perilaku perikanan tangkap dunia masih seperti ini.

Para nelayan pun mengamininya. Ukuran ikan saat ini semakin mengecil, fishing ground semakin jauh ke tengah laut serta jumlah tangkapan pun semakin menurun. Data perikanan nasional walaupun secara umum masih menunjukan peningkatan, namun pada beberapa lokasi telah menunjukan stagnasi dan tren menurun, terutama pada perikanan pantai.

Di Provinsi Banten sendiri, produksi perikanan tangkap kadang menunjukan penurunan kadang penaikan, atau kalau dirata-rata maka telah terjadi stagnasi. Produksi itu tercatat sebesar 63.176 ton (2001), 63.343 ton (2002), 52.867 ton (2003), 53.534 ton (2004), 58.712 ton (2005), 57.743 ton (2006) dan 61.678 ton (2007). Sementara jumlah nelayan, jumlah alat tangkap dan jumlah armada/kapal ikan terus meningkat (DKP Prov. Banten).

Penggunaan jaring “mirip-trawl” dengan berbagai istilah lokalnya seperti arad, gardan, lampara, cantrang bisa jadi merupakan salah satu faktornya. Sistem operasi alat tangkap ini, yang menggerus dasar dan kolom perairan tanpa mengindahkan nursery ground bagi juvenil ikan serta kemampuannya menangkap anak-anak ikan, akan “dihakimi” oleh anak cucu kita.

Di luar negeri, pengendalian stok ikan dilakukan dengan metoda fishing season, yaitu ada musim menangkap dan ada musim dilarang menangkap. Di Indonesia, hal ini tentu sulit diterapkan karena kondisi nelayan kita yang miskin dan belum pandai menabung. Untung saja kita memiliki siklus musim barat dengan ombak besar, sehingga pada saat-saat itu nelayan akan takut untuk pergi ke laut. Kondisi ini “memaksa” para nelayan untuk menghentikan segala aktifitas penangkapan dan memberikan peluang trophic level sumberdaya ikan untuk pulih kembali. Sebuah bentuk “pemaksaan” fishing season secara alami.

Keseriusan Semua Pihak

Itulah beberapa contoh dimana kita belum mampu mengelola ekosistem-ekosistem bumi dengan baik. Sebenarnya, secara tidak sadar kita sedang mewariskan ancaman bencana kepada anak cucu kita sendiri, di rumah sendiri. Mungkin bagi kita saat ini, dunia tanpa hutan, padi dan ikan hanyalah cerita fiksi, tapi fakta-fakta yang menakutkan di atas bukanlah sebuah halusinasi.

Pemerintah harus lebih pro-aktif melakukan langkah-langkah kreatif dan taktis. Persoalan lingkungan ini sangat mendesak (time concern) untuk segera diselesaikan, karena bom waktu ini telah dihitung mundur.

Pada Hari Bumi tahun ini, cukuplah Tragedi Situ Gintung menjadi pesan moral bagi pemerintah dan masyarakat agar kita lebih sadar, lebih serius, lebih cepat dan lebih menghargai ekosistem bumi, tanpa harus menunggu sebuah bencana kembali datang dengan tiba-tiba..**)

Penulis:
Kasie Konservasi, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten

Revitalisasi Perikanan Budidaya, Where To Go?

Oleh: Endan Suwandana ST., M.Sc.

Dimuat pada: Buletin Samudera Biru Edisi III, Oktober 2008

Apa yang anda bayangkan dari judul di atas? Apakah anda membayangkan sebuah kondisi dimana industri udang nasional kembali menjadi primadona? Atau membayangkan tambak-tambak terbengkalai kembali dihiasi kincir-kincir air? dan terang benderang oleh lampu neon di pematang tambak...? Kalau itu bayangan anda, maka tepat sekali ! Karena itu pulalah yang menjadi impian banyak orang sejak runtuhnya masa keemasan udang pada era 80-90’s.

Tapi.... adakah di antara kita yang sadar bahwa Program Revitalisasi Pertanian Perikanan Kehutanan (RPPK) saat ini telah memasuki tahun terakhir dari periode jangka menengahnya (2005-2009)? Ya. Sejak dicanangkan 11 Juni 2005, tak terasa kini program revitalisasi sudah masuk tahun ke-4. Lalu, bagaimana capaian targetnya? Jika target-target jangka menengah belum banyak dicapai, apakah kita masih cukup optimis untuk meletakan target-target jangka panjang 2005-2025? Atau perlukah kita segera mereposisi dan mendefiniskan kembali Revitalisasi Perikanan?

The Sickness-sleeping Giant

Para ahli sering menyebut sub sektor perikanan budidaya sebagai the sleeping giant atau raksasa yang sedang tidur, karena melihat potensinya yang begitu besar namun tidak dikelola secara optimal. Namun, menurut hemat penulis istilah yang lebih tepat adalah the sickness-sleeping giant atau raksasa yang sedang tidur kesakitan. Karena kenyataannya raksasa itu bukan hanya sekedar tidur, tapi juga sedang sakit. Implikasinya, membangunkan orang tidur tentu tidak sama dengan membangunkan orang sakit.

Kalau kita telusuri areal pertambakan dari Serang sampai Tangerang, hampir sebagian besarnya meradang. Sejauh mata memandang kita menyaksikan puing-puing sebuah sejarah peradaban perikanan. Kita berdecak, betapa waktu itu ribuan hektar lahan dikonversi begitu cepatnya menjadi pertambakan. Hutan mangroves lenyap, sawah pun hilang. Sungguh antusias, sungguh kolosal. Untung besar...tapi kemudian rugi besar...

Memang tidak semua tambak saat ini terbengkalai. Sebagian besarnya masih dimanfaatkan oleh masyarakat secara tradisional dengan segala keterbatasannya. Dengan kondisi yang marginal itu, masyarakat masih memanfaatkan untuk budidaya bandeng secara tradisional, tanpa pakan. Semua pertumbuhan ikan diserahkan kepada Tuhan. Hidup atau mati akan diterima. Panen 5, 6 atau 7 bulan pun diterima. Sebagiannya ditanami rumput laut. Panennya pun tidak menentu, kadang 4 atau 5 bulan sekali. Yang jelas sangat jauh dari makna “Revitalisasi”.

Program Revitalisasi Perikanan yang dicanangkan SBY, salah satunya adalah untuk mengembalikan kejayaan sejarah udang nasional. Dicanangkanlah periode revitalisasi 2005-2025. Selama dua dasawarsa ini pemerintah memimpikan sejarah primadona udang kembali terulang. Mampukah Banten? Sudah tanggal berapa sekarang?

Jangka Menengah: 2005-2009

Ini adalah periode jangka menengah yang telah ditetapkan dalam dokumen revitalisasi perikanan (RPPK), dan berikut adalah target-target untuk sub sektor perikanan budidaya yang harus dicapai pada akhir tahun 2009:
· Membangun prasarana budidaya perikanan, khususnya saluran irigasi primer tambak udang
· Mengembangkan industri tambak udang terpadu, broodsctock center, panti pembenihan, pabrik pakan, dll.
· Menjadi pemasok utama dan pengendali harga udang dunia (market leader and price setter).
· Meningkat dari produsen rumput laut kering menjadi bahan baku setengah jadi dan olahan (semi refined-seaweed).

Melihat target-target itu, cukup mengerutkan dahi juga. Sementara tahun 2009 sudah diambang pintu. Memang target-target itu dibuat untuk mewujudkan impian bangkitnya the sickness-sleeping giant. Namun untuk membangunkan kembali raksasa, tentu bukan hal yang mudah. Raksasa harus dibangunkan oleh sebuah kekuatan sekuat raksasa pula. Tanpa kekuatan raksasa, maka semuanya hanya akan menjadi wacana yang utopis.

One Policy...One Management

Melihat hamparan lahan pertambakan yang sangat luas dari google earth, sungguh mimpi rasanya untuk dapat mengelola kembali lahan yang luas tersebut tanpa memperbaiki sistem irigasi primer, pengaturan inlet/outlet yang jelas, buffer zone (penghijauan) dan sebagainya. Karena itulah kunci utama sekaligus langkah awal revitalisasi. Tanpa itu, maka revitalisasi hanya sebatas harapan.

Sayangnya, justru pekerjaan ini membutuhkan biaya besar dan waktu lama. Sehingga tidak mungkin pekerjaan ini hanya menjadi tanggung jawab sebuah SKPD. Di sinilah dibutuhkannya sebuah kebijakan politik dari seorang kepala daerah, sehingga semua SKPD terkait dapat memfokuskan kegiatannya untuk mewujudkan upaya ini. Kita tidak mungkin sendirian membuat saluran-saluran irigasi primer tanpa Dinas PU terlibat di dalamnya. Atau melakukan penghijauan, tanpa peran aktif dari Dinas Hutbun.

Prof. Tridoyo Kusumastanto, Kepala PKSPL-IPB mengatakan beberapa faktor kunci keberhasilan revitalisasi perikanan adalah 1) dukungan ekonomi-politik dari pemerintah; 2) managemen yang baik dan 3) teknologi. Tanpa eksistensi dari ketiga faktor itu, mustahil revitalisasi bisa terwujud.

Berikut penjelasan Walters (1980) tentang integrated fisheries : “....most fisheries problems are complex and contain human as well as biological dimensions. Too frequently we see the consequences of trying to deal with complexity in a fragmentary or narrow way. Management plan based on the soundest of biological information fail when it is discovered that fishing pressure cannot be controlled because of unforeseen political or economic constraints. Economic policies fail when unforeseen biological limits are exceeded. In short, fisheries represent dynamic (time varying) systems with interacting components....”. Betulkan? Sistem perikanan harus terintegrasi !!!

Setelah itu, seandainya pun mendapat dukungan ekonomi-politik, maka PR selanjutnya adalah merumuskan pola managemen yang kuat dan baik. Ribuan hektar tambak itu harus dikelola oleh satu managemen tunggal (one management), karena budidaya air payau harus merupakan satu kesatuan sistem usaha yang integral, dan tidak mungkin lagi diserahkan kepada masing-masing petambak. Managemen tunggal itu bisa apa saja bentuknya, baik itu sebuah otoritas pemerintah maupun korporasi swasta.

Dengan satu managemen, maka setiap petambak akan mengikuti pola yang sudah diatur dan terbagi dalam zona tertentu. Sehingga mereka tahu kapan mulai menebar benih, kapan panen, kapan tambak harus diistirahatkan, kapan pemberian obat dan vitamin, kemana saluran inlet dan outlet, dsb. Tanpa pengaturan seperti itu maka masing-masing petambak akan seenak sendiri melakukan usaha budidayanya. Inilah yang menyebabkan kehancuran industri udang di era 80-90. Tidak adanya pengaturan! Dan waktu itu, sistem budidaya tidak menjadi satu kesatuan sistem integral, baik secara politik, biologi dan pengelolaan!

Perusahaan besar semacam PT. Dipasena, PT. Bratasena dsb merupakan contoh bagaimana mereka mengelola ribuan hektar tambak dalam satu managemen. Itulah konsep dari sustainable fisheries yang dapat ditemui dalam banyak text book dan literatur ilmiah. Saluran irigasi primer didisain sedemikian rupa, pola tanam diatur dan digilir, bahkan penghijauan (green belt) dipertahankan.

Second-best Alternative

Namun demikian, tidak mudah memang bagi seorang kepala daerah untuk memfokuskan kebijakan politiknya pada salah satu sub sektor pembangunan, tanpa menghitung dengan cermat opportunity cost dari setiap sub sektor itu dan segala kemungkinannya. Sehingga, walaupun program revitalisasi pertanian perikanan dan kehutanan sudah dicanangkan secara nasional, namun tentu setiap kepala daerah perlu mengkaji dan menjabarkan arah dan fokus mereka. Dengan keterbatasan anggaran, tidak mungkin ketiga bidang itu (pertanian, perikanan, kehutanan) mendapat prioritas secara bersamaan.

Dalam era otonomi daerah, setiap pemerintah daerah akan bervariasi dalam menyikapi sebuah program nasional sesuai dengan kemampuan daerah dan kondisinya. Ada yang concern ke perikanan, ada juga yang concern ke sektor lain. Dari sinilah setiap SKPD harus dengan cermat menilai kebijakan kepala daerahnya. Ketika prioritas itu tidak didapatkan, maka SKPD harus segara mencari second best alternative (pilihan terbaik kedua) dan opportunity cost yang lebih menguntungkan. Begitulah teori ekonomi pembangunan mengajari kita.

Dalam konteks revitalisasi budidaya air payau, ketika program-program inti (seperti pembuatan saluran irigasi primer, pengaturan inlet/outlet, penghijauan) tidak dapat dilakukan karena tidak mendapatkan prioritas kebijakan politik dan memerlukan biaya yang sangat besar, maka segeralah downgrading the scope atau turunkan target! Sehingga dalam kondisi ini, kita tidak lagi meneruskan impian bangkitnya industri udang nasional, setidaknya untuk saat ini.

Namun tentu kita pun tidak ingin membiarkan pertambakan itu terus menerus terbengkalai dan menjadi lahan tidur. Untuk itulah the second best alternative atau opsi terbaik kedua harus dirumuskan. Kita harus mencari komoditas lain selain udang yang tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim, di antaranya:
· Fokus kepada komoditas rajungan dan kepiting yang tahan terhadap kondisi lingkungan yang marginal, serta berusaha agar komiditas itu mengarah pada skala industri. Sehingga perlu disiapkan segala sarana prasarana mulai dari panti pembenihan, pembesaran, pakan, pengolahan, bahkan kaji terap dan penelitian perlu terus ditingkatkan. Melalui upaya ini, siapa tahu Banten menjadi produsen kepiting dan rajungan skala nasional.
· Fokus kepada komoditas bandeng, khususnya bandeng umpan. In fact saat ini bandeng masih menjadi alternatif usaha masyarakat di lahan kritis walaupun dilakukan secara super tradisional (lawan dari super intensif).
· Fokus pada nila merah. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa jenis ini cukup toleran terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik. Untuk itu perlu dilakukan pengkajian, penelitian dan bimbingan terhadap para petani tambak.
· Fokus kepada komoditas rumput laut yang mampu hidup di tambak dengan kondisi lingkungan yang kritis. Mengembangkan penelitian dan pengkajian agar didapatkan bibit yang cenderung tahan terhadap kondisi lingkungan minimal.

Namun perlu diingat, sebaiknya budidaya perikanan air payau tetap tidak meninggalkan core business-nya yaitu udang. Pemerintah daerah perlu terus melakukan pilot project pada tambak-tambak percontohan skala kecil di lokasi-lokasi yang memiliki sistem irigasi inlet/oulet terbaik yang terdapat di pantura Banten. Untuk itu perlunya dilakukan pemetaan kondisi lingkungan dan kualitas air di seluruh pesisir pantura Propinsi Banten dengan mengoptimalkan Unit Mobil Keliling Uji Kualitas Air. Dengan tidak ditinggalkannya udang dalam kegiatan budidaya perikanan, diharapkan suatu saat nanti core business ini akan mendapat dukungan politik sehingga mimpi bangkitnya kembali industri udang nasional tidak terpupus sama sekali.

Kesimpulannya, pemaksaan keinginan untuk tetap berorientasi kepada bangkitnya industri udang nasional adalah pilihan yang tidak rasional, paling tidak untuk saat ini. Kecuali apabila adanya keinginan yang kuat dari kita semua, khususnya pemerintah daerah, untuk menerapkan one policy one management menuju integrated brackishwater industry (Industri Budidaya Air Payau Yang Terintergrasi).

Kebijakan politik semacam Muslim Olympic Games 2013 dengan Banten Sport Center-nya yang mendapat dukungan kuat dari gubernur, mungkin merupakan contoh yang dibutuhkan dunia perikanan. Artinya kalau sudah menjadi keputusan politik, maka mau tidak mau kebijakan itu akan didukung oleh semua SKPD. This is “one policy” that fishery needs.

Minggu, 19 April 2009

Sistem Informasi Kependudukan Berbasis Teknologi Informasi

Oleh: Endan Suwandana, ST. M.Sc.

Pesta nasional pemilihan calon anggota legislatif 2009 baru saja usai. Permasalahan besar yang mencuat dan cukup menganggu “validitas” pemilu ini adalah masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Aksi-aksi protes yang terjadi di Jakarta, Medan dan para mahasiswa Papua yang tinggal di Yogyakarta adalah beberapa contoh yang sempat terliput media. Mereka protes karena merasa civic right-nya tercabut, dan ini cukup menyakitkan bagi setiap warga negara yang mengalaminya.

Ini adalah pelajaran mahal yang harus segera disikapi. Di era komputerisasi ini, sungguh suatu ironi jika hal seperti ini harus terjadi di sebuah negara yang teknologi informasinya terbilang cukup maju. Para ahli dan praktisi teknologi pun sudah menjamur. Kita harus merasa malu kepada negara-negara tetangga kita yang jauh lebih dulu melakukan komputerisasi data kependudukannya. Untuk itu, agar kita tidak merasa seperti berada di zaman batu, Pembenahan Sistem Manajemen Kependudukan berbasis teknologi informasi adalah agenda utama pemerintahan baru nanti.

Gampangnya buat KTP

Pada kejadian pemilu legislatif ini, kita bisa saja menunjuk hidung KPU. Tapi secara jujur, cukup sulit juga menyalahkan KPU sendirian, karena DPT adalah bukan merupakan hasil kerja KPU sendirian, melainkan KPU hanyalah sebagai “kolektor” dari seluruh data kependudukan yang tersebar di desa/kelurahan se-Indonesia.

Maka fundamental permasalahnnya adalah sistem manajemen kependudukan di tingkat yang paling dasar itu, yaitu desa/kelurahan, yang kemudian dikompilasi di tingkat kecamatan yang berwenang mengeluarkan KTP. Walaupun ada prosedur pembuatan KTP yang lebih ketat mulai dari tingkat RT/RW, tapi mustahil data kependudukan itu akan valid 100% ketika tanpa bantuan teknologi komputer.

Potensi kesalahan itu ada beberapa macam, bisa karena kepindahan penduduk, karena meninggal, karena rubah status kepegawaian (misal diterima menjadi TNI/Polri), ditambah lagi dengan gampangnya prosedur pembuatan KTP. Maka tak ayal setumpuk permasalahan dalam DPT selalu terjadi.

Pada pemilu kali ini, penulis sendiri mendapat 2 surat undangan mencontreng (formulir C-4), yaitu di tempat tinggal sekarang, dan di tempat orang tua. Sementara ada sebagian keluarga yang malah tidak mendapatkannya.

Implikasi pada Pembangunan

Semrawutnya data kependudukan ini berimplikasi pada roda pembangunan nasional. Sebut saja kebijakan BLT, KUT, PEMP dan lain-lain yang juga memiliki permasalahan yang sama, yaitu ada orang-orang yang tidak terdaftar, atau terdaftar ganda, atau bahkan ada beberapa nama fiktif (mungkin sudah pindah atau wafat).

Tidak adanya sistem komputerisasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) menyebabkan aturan mengenai pendaftaran nomor HP yang dikeluarkan oleh Menkominfo No 23/Kominfo/M/10/05 menjadi main-main saja. Begitu gampangnya kita memasukan sembarang nama dan nomor KTP, langsung nomor kita bisa terdaftar. Sehingga penipuan “behadiah” lewat HP menjadi marak dan susah dilacak. Bahkan ketika nomor rekening penipu tersebut telah diketahui oleh pihak bank, tetap saja orangnya tidak pernah tertangkap, dan uang pun melayang.

Hal ini juga terjadi pada pengurusan tanah, dimana banyak sekali para pengusaha di Jakarta yang memiliki KTP di daerah-daerah untuk kepentingan pembuatan sertifikat tanah di daerah.
Bukanlah menjadi rahasia umum bagi kita, ketika identitas seorang warga negara dibutuhkan untuk pengurusan sesuatu, dan mendapat hambatan dalam prosedur pengurusannya, maka kita sering mendengar: “Udah gampang, buat KTP baru saja.”

Bisa dikatakan, salah satu akar permasalahan kriminalitas, korupsi, penipuan, terorisme, dan lain-lain yang terjadi di negara ini adalah karena lemahnya sistem manajemen kependudukan kita. Sebagai contoh, rumah penulis sudah dua kali kemalingan dan mereka selalu meninggalkan sidik jari, tapi tetap saja tak bisa tertangkap.

Bahkan permasalahan “gampangnya buat KTP” ini dapat menjadi bumerang bagi kedaulatan bangsa. Seperti diketahui bahwa isu pejualan pulau-pulau kecil telah menggegerkan kedaulatan bangsa. Seperti Kasus P. Bidadari oleh WN Inggris, P. Sture oleh WN Malysia, P. Kukusan oleh WN Selandia Baru, P. Bawah oleh WN Australia, P. Menyawakan oleh WN Swedia, dll.

Memang sebagian kasus itu tidak terbukti, sebagian kasus hanya mengantongi sertifikat HGU/HGB, dan sebagian kasus lainnya menggunakan nama-nama warga setempat atau nama istrinya yang WNI pada sertifikatnya. Namun, siapa tahu suatu saat nanti dia bisa mengantongi KTP dengan namanya sendiri setelah dia fasih berbahasa Indonesia.

Integrasi Basis Data

Pengalaman penulis sewaktu studi di Jerman, ada seorang teman warga negara Jerman yang hendak bepergian ke luar negeri tetapi tertahan di Bandara Frankfurt ketika boarding, karena komputer petugas bandara itu memberikan sinyal (alarm) bahwa dia pernah melanggar lalu lintas dan belum membayar denda, padahal hal itu dilakukannya 3 tahun yang lalu. Akhirnya dia harus membayar denda itu dulu sebelum terbang.

Kejadian serupa terjadi ketika penulis tugas belajar di Saudi Arabia, ketika seorang TKI yang berprofesi sebagai supir hendak pulang ke tanah air (istilahnya exit), terpaksa harus tertahan juga di bandara Dammam International Airport karena belum melunasi denda ke kepolisian karena pelanggaran lalu lintas. Dia telpon majikannya, lalu majikannya melunasinya.

Sedemikian canggihnya sistem manajemen kependudukan di Saudi dan Jerman itu, sehingga sekecil apapun kejahatan seseorang akan terus terekam (track record), dan basis data itu terhubung ke semua instansi pemerintahan dan berbagai layanan masyakarat lainnya.
Melalui pemilu 2009 ini, diharapkan pemerintahan yang baru terpilih nanti harus segera mengupayakan sistem manajemen kependudukan dengan berbasis teknologi informasi.

Registrasi ulang semua warga negara harus dilakukan dengan diberikan NIK yang unik dan bersidik jari. Hal ini memang tidak gampang, karena akan berpengaruh pada semua aktifitas “hitam” kita. Sehingga hal ini membutuhkan komitmen dari semua pihak demi terciptanya pembangunan yang lebih maju dan bermartabat.

Projek besar ini mungkin membutuhkan biaya yang besar, tapi dengan dana Pemliu 2009 yang mencapai Rp. 50 triliun, hal ini dapat dipertimbangkan karena hal ini bisa mengurangi anggaran pemilu pada tahun-tahun berikutnya. Bahkan hal ini pun akan berpengaruh pada tingkat kriminalitas, penipuan, korupsi dan sebagainya yang tentunya juga dapat menyelamatkan uang negara.

Apalagi hal ini bisa menjadi titik awal perubahan sistem pemungutan suara kita dari “mencontreng” menjadi “memijit tombol” seperti yang sudah dilakukan oleh beberapa negara seperti India dan Amerika. Kalau tidak mau ketinggalan, harus kita lakukan sekarang. Kalau tidak, kapan lagi?.**)

*) Penulis adalah PNS di Pemprov Banten.

Sistem Ketahanan Pangan Pulau-Pulau Kecil

Oleh: Endan Suwandana, ST., M.Sc.

Salah satu permasalahan utama yang dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil adalah pangan. Hal ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat pulau-pulau kecil di Indonesia, tapi juga oleh sebagian besar negara-negara kepulauan di seluruh dunia.

Sebagaimana disadari bahwa sebuah pulau tidak dapat berdiri sendiri dalam mencukupi kebutuhan penduduknya tanpa didukung oleh keberadaan sumberdaya alam di pulau-pulau lain. Maka tak heran jika masalah ketahanan pangan di negara-negara kepulauan baik di Lautan Pasifik, Atlantik, perairan laut Asia dan Afrika telah menjadi perhatian PBB melalui badannya yaitu UN DESA (United Nation Departement of Economic and Social Affairs) dan FAO (Food and Agriculture Organization).

Mereka membentuk jaringan negara-negara kepulauan seperti Small Island Developing States Network (SIDS Net), European Small Islands Network (ESIN), Small Islands Information Network (SIIN), dan sebagainya. Jaringan-jaringan semacam ini dibentuk oleh negara-negara pulau yang difasilitasi oleh PBB untuk membahas dan mencari solusi terhadap segala permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara pulau, termasuk di antaranya masalah ketahanan pangan.

Indonesia, sebagai negara kepulauan yang memiliki wilayah terluas di dunia juga memiliki kendala yang sama, yaitu ketahanan pangan. Bagi Pulau Miangas, salah satu pulau terluar di Laut Sulawesi, cadangan pangan sering menjadi kendala bagi sebagian besar penduduknya, terutama pada saat cuaca laut tidak bersahabat, karena distribusi barang menjadi terhambat.

Pulau yang jaraknya lebih dekat ke negara tetangga Filipina (48 mil) dari pada ke ibukota kecamatannya sendiri yaitu Kec. Nanusa (145 mil), pada saat-saat tertentu seperti terisolir. Bagaimana jika negara tetangga Filipina lebih peduli kepada mereka daripada kita, saudara sebangsanya sendiri? Maka tidak ada kata lain bagi pemerintah kecuali harus serius mencari solusi untuk menciptakan sistem ketahanan pangan bagi pulau-pulau kecil.

Di Provinsi Banten, dari sekitar 61 pulau kecil yang kita miliki (minus 22 pulau di Kepulauan Seribu yang diklaim DKI Jakarta), kita memiliki 3 pulau di antaranya yang sudah berpenghuni, yaitu P. Panjang, P. Tunda dan Pulau Sangiang. Penduduk di P. Panjang dan P. Sangiang sudah tergolong padat bahkan sudah memiliki administratif pemerintahan desa, sedangkan P. Sangiang baru dihuni oleh beberapa keluarga saja.

Permasalahan kelangkaan pangan pun sering menimpa saudara-saudara kita yang tinggal di pulau-pulau ini, terutama pada saat gelombang tinggi yang terjadi sekitar bulan September-Maret setiap tahunnya. Permasalahannya bukanlah karena daya beli mereka yang rendah, tapi pasokannya yang tidak ada.

Stok panganlah yang tidak tersedia. Wlalupun memang diantara mereka mungkin ada juga yang tidak memiliki kemampuan daya beli dikarenakan pada musim barat itu mereka tidak bisa mencari nafkah di laut. Inilah cerita yang setiap tahun harus terulang, walaupun tahun ini tidak separah tahun lalu.

Sebenarnya instrumen di tingkat daerah yang menangani masalah ini sudah cukup banyak. Ada Dinas Kelautan dan Perikanan yang menangani masalah pulau-pulau kecil, ada Dinas Ketahanan Pangan yang bertanggung jawab terhadap ketahanan pangan masyarakat (food security), ada Dinas Perhubungan untuk bantuan distribusi, bahkan ada Perum BULOG yang sifatnya selain untuk mencari keuntungan (sejak PP No. 7 Tahun 2003) juga harus membantu pemerintah dalam masalah ketahanan pangan. Minimal keempat instrumen itulah yang harus dapat segera mensinergikan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan ini.

Dari sisi instrumen peraturan perundangan juga sudah cukup tersedia. Dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan ada pasal-pasal yang mengatur masalah Ketahanan Pangan yaitu Pasal 45 - 48, khususnya Pasal 46 d) yang menyatakan “pemerintah mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah dan atau menanggulangi gejala kekurangan pangan, keadaan darurat, dan atau spekulasi atau manipulasi dalam pengadaan dan peredaran pangan”.

Cadangan Pangan Pemerintah Desa

Selain itu ada pula peraturan pemerintah yang lebih khusus membahas masalah ini, yaitu PP No. 68/2002 tentang Ketahanan Pangan. Dimana pasal 5 mengamanatkan bahwa pemerintah dan masyarakat harus membentuk sebuah sistem Cadangan Pangan Pemerintah Desa, Kab/Kota, Provinsi, dan Nasional. Dengan kata lain bahwa masyarakat di masing-masing desa, termasuk P. Tunda, P. Panjang dan P. Sangiang harus segera mewujudkan sistem Cadangan Pangan Desa agar masalah ketahanan pangan dapat segera teratasi.

Provinsi Banten termasuk provinsi muda, begitu pula Dinas Ketahanan Pangan yang juga baru dibentuk setahun terakhir, maka tak heran apabila semuanya masih dalam tahap penataan. Untuk itu segala upaya untuk mensinergikan langkah untuk mengatasi permasalahan ketahan pangan di pulau-pulau kecil ini harus menjadi prioritas utama pemerintah daerah sebelum musim barat kembali tiba.**)

Hari Nelayan dan Sistem Ekonomi Tengkulak

Oleh: Endan Suwandana, ST., M.Sc.

Dimuat pada: Harian Republika, 7 April 2009 http://www.republika.co.id/koran/0/42495

Mungkin hanya sedikit orang yang tahu bahwa tanggal 6 April adalah Hari Nelayan Nasional. Belum didapatkan informasi yang jelas mengenai penetapan tanggal tersebut dan sejarahnya. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP RI) pun nampaknya belum menjadikan tanggal tersebut sebagai agenda resmi tahunan. Sejauh ini, baru Hari Nusantara-lah (13 Desember) yang rutin diperingati setiap tahun.

Terlepas dari benar atau tidaknya, tapi itulah setidaknya yang kita dapatkan dari Situs Wikipedia (free-online ensiklopedia) yang menyatakan tanggal 6 April sebagai Hari Nelayan Nasional. Konon, di Pelabuhan Ratu Sukabumi, setiap tahun para nelayan memperingati hari ini dengan berbagai aktifitas yang meriah seperti ritual adat, lomba-lomba, pesta rakyat, dsb.

Urgensi hari nelayan memang sudah patut dipikirkan, karena nelayan merupakan salah satu konstituen terbesar warga negara di negeri bahari ini. Kalau kita memiliki hari buruh, hari arsitektur, hari tani, hari dokter, hari guru, dll maka tidaklah berlebihan apabila kita pun ingin mengangkat harkat martabat nelayan melalui Hari Nelayan.

Beberapa negara pun sudah lama merayakannya, seperti Filipina, India, Maladewa, Trinidad and Tobago, St. Vincent Karibia, British Virgin Island Karibia, Barbados, dll. Mereka menyebutnya sebaga fisherfolk day atau fisherman day. Pada hari-hari itu pesta nelayan menjadi pesta rakyat yang luar biasa dan mampu mendatangkan ratusan turis manca negara. Lomba dan pesta dipadukan menjadi sebuah rangkaian atraksi yang menarik selama beberapa hari.

Bahkan sejak November 1998, President Bill Clinton telah mencanangkan Hari Perikanan Dunia (World Fisheries Day) yang jatuh setiap tanggal 21 November melalui Proclamation 7150. Salah satu kalimat yang penting dari teks proklamasi itu adalah “World Fisheries Day is not only an occasion for celebration, it is also a time to raise awareness of the plight of so many of the world's fish resources”. Demikian itulah seruan Presiden Clinton agar kita dapat meningkatkan kesadaran terhadap sumberdaya ikan dan tentunya juga kesadaran terhadap nasib dan kesejahteraan nelayan.

Banyak sekali permasalahan nelayan yang masih menjadi pekerjaan rumah bangsa ini, sebut saja kemiskinan, BBM, sampah, tingkat pendidikan, sumberdaya ikan, konflik antar nelayan, formalin, tengkulak, dsb. Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah pun telah menggulirkan banyak sekali program dan kegiatan dengan jumlah uang yang tidak sedikit, seperti Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN), PNPM Mandiri, Kredit Usaha Rakyat (KUR), bantuan langsung alat-alat perikanan dan masih banyak lagi.

Namun demikian kemiskian masih menjadi “trademark” yang kita saksikan sehari-hari. Ratusan penelitian sosial pun dilakukan dan hampir semuanya berkesimpulan sama, yaitu bahwa kemiskinan ini adalah kemiskinan struktural (structural poverty) yang telah melembaga. Menghilangkan kemiskinan model ini tidak semudah teori sosial ekonomi manapun. Implikasinya, kalau ingin berhasil, maka semua program pemerintah harus mengikuti dan memperhatikan pola kehidupan sosial ekonomi dan budaya mereka.

Sistem Ekonomi Tengkulak

Butuh waktu yang lama untuk mengurai satu demi satu permasalahan nelayan di atas. Pada kesempatan ini cukup kita fokuskan pada peran tengkulak yang menjadi problematika tak berkesudahan bagi nelayan dan selalu muncul dalam setiap laporan penelitian sosial ekonomi nelayan.

Setuju atau tidak, negara kita menganut sistem ekonomi kapitalis. Pada sistem ini, aktifitas ekonomi tengkulak adalah hal yang dianggap sah-sah saja, karena mereka adalah para pemilik modal (capital holder) yang boleh melakukan apa saja selama saling membutuhkan. Maka dari kacamata bisnis, tengkulak adalah sebuah sistem ekonomi yang sah. Dimana setiap pebisnis, apapun bentuknya baik firma ataupun perseorangan, tentu akan berupaya untuk mempertahankan bisnisnya. Upaya tersebut bisa dalam bentuk discount, iklan, entertain, pembentukan opini, dan sebagainya.

Sebagai sistem ekonomi, tengkulak pun mengeluarkan biaya “iklan” dan “entertain” untuk mempertahankan bisnisnya. Bentuknya adalah dengan melakukan pendekatan sosial (social approach). Mereka dapat memberikan pinjaman tanpa kolateral (agunan) kepada para nelayan kapanpun mereka butuhkan. Tentu dengan harapan agar mereka tetap terikat dan tidak lari kepada tengkulak lain. Mirip dengan iklan berhadiah produk-produk di televisi yang selalu ingin mengikat pelanggannya. Hasilnya, kemiskinan nelayan tetap terpelihara karena monopoli harga ikan dan sistem pemasaran ditentukan oleh sang tengkulak.

Sama sekali tidak ada yang salah dengan sistem itu, karena itulah memang gambaran kecil dari sistem ekonomi yang berlaku di Indonesia. Para pemodal besarlah yang memiliki sistem kekuasaan ekonomi. Kita bisa melihat bagaimana supermarket waralaba sampai berdiri megah di sudut-sudut desa. Makanya, apapun upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, jika tanpa menyentuh sistem ekonomi yang sudah mendarahdaging ini, maka bagaikan upaya menggantang asap.

Itulah mungkin alasannya mengapa pada Agustus 2008 lalu, Wapres Jusuf Kala setuju-setuju saja dengan usulan dibentuknya Asosiasi Punggawa Nasional (APN) yang dipimpin oleh Bupati Rembang, M. Salim. Karena memang dari kacamata pebisnis sejati, punggawa atau tengkulak adalah sebuah sistem ekonomi yang tidak melanggar prinsip ekonomi, apalagi belum ada peraturan perundangan yang mengatur tentang tengkulak.

Tentu ide dan persetujuan wapres ini bukan untuk mengekalkan kemiskinan nelayan (sustainable poverty), karena tidak mungkin seorang negarawan melakukan ide yang kontraproduktif dengan program-programnya sendiri. Mungkin beliau berpendapat, dengan dibentuknya wadah para tengkulak itu, maka pemerintah dapat mulai “mewarnai” sistem ekonomi mereka yang sudah diwariskan secara turun temurun itu.

Perfect Market dan Intervensi Pemerintah

Untuk memahami sistem ekonomi tengkulak, kita harus berangkat dari teori ekonomi yang dikenal dengan istilah kesempurnaan pasar (perfect market). Secara sederhana, kondisi pasar sempurna inilah yang diharapkan oleh semua orang, karena pada kondisi ini semua pihak akan merasa senang, sama-sama untung dan tidak ada yang membatasi dan menghambat dalam setiap tahapan interaksi. Namun dalam tataran praktis, tentu sistem ini belum pernah terwujud, karena akan cukup sulit untuk memuaskan semua orang. Pasti akan selalu ada elemen yang ingin meraup keuntungam lebih, sesuai dengan prinsip ekonomi yaitu untuk meraih sebesar-besarnya keuntungan dengan mengefisienkan upaya. Bahkan ada pula yang dirugikan atau bahkan terlempar dari mekanisme pasar.

Itulah alasannya mengapa pemerintah, sebagai pihak yang melindungi semua komponen pasar, harus menyediakan instrumen untuk menjaga agar tidak terjadi kegagalan pasar (market failure). Pemerintah perlu melakukan intervensi terhadap pasar, melalui berbagai instrumennya, agar roda perekonomian dapat tetap berjalan. Dari sinilah kita mengenal istilah kebijakan subsidi (subsidy policy) untuk petani dan nelayan kecil, karena mereka tidak mampu menyediakan unsur-unsur faktor produksi, seperti pupuk dan BBM. Tanpa subsidi, mustahil akan ada beras dan ikan, karena biaya produksi lebih besar dari pada keuntungan (non-profitable). Selain itu kita juga mengenal istilah-istilah lain seperti kebijakan fiskal dan moneter, pengurangan pajak, deregulasi, anti-monopoli, dan sebagainya.

Intervensi semacam inilah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk mengatur hegemoni sistem ekonomi tengkulak, dimana pada kondisi tertentu mereka telah menciptakan sistem ekonomi monopoli. Bagaimana tidak, mereka beroperasi mulai dari penyediaan finansial, pemilikan faktor-faktor produksi, dan menentukan jalur pemasaran. Artinya semua mata rantai mereka kuasai. Bisa jadi sistem ini tidak sesuai dengan Pasal 17 UU No. 05/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pemerintah perlu memikirkan peraturan yang dapat membantu nelayan kecil keluar dari mekanisme pasar yang seperti ini. Tentu bukan dengan memusuhi tengkulak, karena sesuai dengan hukum ekonomi, mereka tidak dapat dipersalahkan. Begitu pun dari sisi hukum budaya, mereka tidak dapat dikesampingkan karena pada kenyataanya mereka adalah orang-orang yang dihormati dan dibela oleh para pekerjanya.

Pemerintah harus menciptakan suatu sistem ekonomi yang saling kait mengait antara pekerja, tengkulak, TPI, koperasi dan pemerintah sebagai pengawas dan pengendali. Bisa saja para tengkulak dirangkul dan diberikan bantuan modal oleh pemerintah, karena memang merekalah yang dianggap layak (bankable). Selanjutnya bantuan itu dapat digunakan untuk membiaya para anggotanya atau memperluas usahanya. Tapi para mereka harus dipagari oleh aturan-aturan yang mengatur jalur pasar ikan, mulai dari produksi sampai pemasaran. Keterkaitan semua komponen itu harus diatur, sehingga jalur-jalur distribusi ikan yang tidak melalui mekanisme ini dapat diperiksa oleh pos-pos retribusi hasil laut yang ada di jalan raya. Pada tingkat daerah, regulasi intervensi pemerintah semacam ini dapat dipikirkan mekanismenya dan diputuskan melalui perda atau peraturan kepala daerah.

Sistem Bagi Hasil

Ada pula sistem lain yang dapat dimasukan dalam kebijakan “intervensi” pemerintah terhadap sistem ekonomi tengkulak tersebut, yaitu sistem bagi hasil. Bahkan sistem bagi hasil ini sudah dipikirkan dari sejak zaman orde lama sebagai bukti bahwa pemerintah sudah lama peduli terhadap mereka. Pemerintahan orde lama yang berbau “sosialis” itu justru telah mengeluarkan sebuah undang-undang yang betul-betul melindungi rakyat kecil, baik petani maupun nelayan, yaitu UU No. 02/1960 tentang Perdjandjian Bagi Hasil (Pertanian) dan UU No. 16/1964 tentang Bagi Hasil Perikanan. Bahkan pelaksanaan bagi hasil ini harus diawasi oleh pemerintah daerah untuk menghindari pemerasan dan ketidakadilan.

Pasal-pasal dalam undang-undang tersebut betul-betul mengatur secara rinci praktek bagi hasil usaha perikanan. Seperti Pasal 3 ayat 1) UU 16/1964 yang menyebutkan bahwa: “Jika suatu usaha perikanan diselenggarakan atas dasar perjanjian bagi-hasil, maka dari hasil usaha itu kepada pihak nelayan penggarap dan penggarap tambak paling sedikit harus diberikan bagian sebagai berikut: Untuk perikanan laut: a. jika dipergunakan perahu layar: minimum 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari hasil bersih; b. jika dipergunakan kapal motor: minimum 40% (empat puluh perseratus) dari hasil bersih….”

Sementara Pasal 3 ayat 2) menyebutkan: “Pembagian hasil diantara para nelayan penggarap dari bagian yang mereka terima menurut ketentuan dalam ayat 1 pasal ini diatur oleh mereka sendiri, dengan diawasi oleh Pemerintah Daerah Tingkat II yang bersangkutan untuk menghindarkan terjadinya pemerasan, dengan ketentuan, bahwa perbandingan antara bagian yang terbanyak dan yang paling sedikit tidak boleh lebih dari 3 (tiga) lawan 1 (satu).”

Itulah bukti bahwa pemerintah sebenarnya sejak dahulu telah memperhatikan kesejahteraan nelayan, sampai masalah bagi hasil saja harus diatur oleh sebuah undang-undang. Entah kenapa kemudian pada prakteknya peraturan semacam ini malah tidak diaplikasikan. Apakah mungkin karena “sistem ekonomi kapitalis” yang berkedok “ekonomi pancasila” itu tumbuh subur pada era orde baru bahkan menjadi haluan sistem ekonomi negara? Atau karena undang-undang tadi merupakan produk orde lama yang berbau sosialis? Yang dapat menjawab hal ini adalah mereka yang mengalami sejarah itu sendiri.

Memang pada konsideran “menimbang” UU No. 16/1964 itu dinyatakan bahwa: “a) sebagai salah satu usaha untuk menuju kearah perwujudan masyarakat sosialis Indonesia pada umumnya, khususnya untuk meningkatkan taraf hidup para nelayan penggarap dan penggarap tambak serta memperbesar produksi ikan, maka pengusahaan perikanan secara bagi-hasil, baik perikanan laut maupun perikanan darat, harus diatur hingga dihilangkan unsur-unsurnya yang bersifat pemerasan dan semua fihak yang turut serta masing-masing mendapat bagian yang adil dari usaha itu; b) bahwa selain perbaikan daripada syarat-syarat perjanjian bagi-hasil sebagai yang dimaksudkan diatas perlu pula lebih dipergiat usaha pembentukan koperasi-koperasi perikanan, yang anggota-anggotanya terdiri dari semua orang yang turut serta dalam usaha perikanan itu.”

Belum didapatkan informasi apakah UU No. 02/1960 dan UU No. 16/1964 telah dicabut. Kalau memang belum dicabut, maka ide dasar dari UU tersebut dapat dimanfaatkan oleh pemerintahan saat ini untuk menyusun sebuah kebijakan yang dapat menyelesaikan masalah market failure yang telah diciptakan oleh sistem ekonomi tengkulak tadi untuk selanjutnya melindungi kepentingan ekonomi semua pihak, termasuk tengkulak itu sendiri.**)

Penulis:
Kasie Konservasi, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten

Peluang Jadi Jutawan Kerang di Pantai Panimbang

Oleh: Endan Suwandana, ST., M.Sc.

Dimuat: Buletin Samudera Biru Edisi IV/2008: http://www.dkp-banten.go.id/berita/07/feb07-fishbiz.pdf

Siapa sangka kalau uang yang kita miliki dapat berlipat jumlahnya hanya dalam dalam waktu 1 tahun berkat kerang hijau. Hasil analisa ekonomi menunjukan bahwa hanya dengan ongkos produksi (biaya tetap + biaya variable) sebesar Rp. 14 juta per unit bagan tancap, akan diperoleh pemasukan kotor sebesar Rp. 26 juta. Setelah dikalkulasi dengan parameter lain termasuk modal dan pajak, maka keuntungan bersih yang dapat diraih adalah Rp. 10 juta/unit/tahun. Jadi, siapapun anda yang memiliki uang Rp 14 juta saja, dapat segera ikut serta menjadi pengusaha. Bayangkan, kalau anda memiliki 10 unit saja, maka Rp 100 juta/tahun sudah ada di depan mata.

Sebagian besar kita sudah mengenal bahwa Panimbang adalah salah satu pusat kekerangan di Provinsi Banten. Kapan pun kita membutuhkan kerang, tinggal datang saja ke Panimbang, maka kita akan mendapatkan kerang segar dari spesies kerang darah (Anadara sp) yang dijajakan di pinggir jalan 24 jam sehari. Kerang ini hampir tidak mengenal musim, karena tersedia hampir setiap hari di Panimbang sepanjang tahun. Bedanya, kalau sedang musim kerang jumlah produksinya lebih banyak dan ukuran kerangnya relatif lebih besar.

Tidak hanya kerang darah, Pantai Panimbang juga menyimpan potensi yang sangat besar akan kerang hijau (Perna viridis). Tinggal tancapkan rak-rak bambu yang digantungi sejumlah kolektor, maka kolektor itu akan dipenuhi oleh benih-benih kerang hijau yang menempel. Bak serbuk sari yang tertiup angin, jutaan benih-benih (spat) kerang itu disemburkan oleh induk-induk kerang yang tersedia secara alami di Pantai Panimbang. Spat berukuran milimeter itu selanjutnya mencari media untuk menempel. Didukung oleh perairan yang jernih dengan kualitas air yang sangat baik dan jauh dari kawasan industri, maka potensi pengembangan kerang di Panimbang akan menghasilkan kerang dengan kualitas tinggi, apalagi jika sedikit saja dikemas maka sudah memenuhi standar kualias ekspor (export quality).

Kebutuhan pasar akan produk kekerangan selalu terbuka besar. Berapapun jumlah yang diproduksi selalu siap diterima oleh pasar di Jakarta. Itu baru untuk mencukupi pasar domestik. Sementara pasar luar negeri sampai saat ini relatif belum tersentuh. Padahal kebutuhan negara- negara maju seperti Amerika, Jepang dan Uni Eropa akan protein hewani kerang sangat tinggi.

Sistem usaha ini dapat dilakukan sendiri-sendiri oleh para investor, atau dapat pula bekerjasama dengan kelompok masyarakat pembudidaya kerang hijau di Panimbang. Bahkan bisa saja berkolaborasi dan meminta advokasi langsung dari para teknisi kerang hijau DKP Prov. Banten (sarjana perikanan) yang saat ini ditempatkan di lokasi Depurasi (Instalasi Pencucian Kerang) milik DKP Prov. Banten di Panimbang. Tugas mereka memang melakukan pembinaan, pengawasan, quality control, dan advokasi teknis untuk budidaya kerang hijau di Panimbang.

Bisnis itu cenderung memiliki resiko usaha yang sangat kecil, karena pembenihan telah disediakan sendiri oleh alam, sebagai karunia Allah SWT. Bahkan kita pun tidak perlu memikirkan pakan, karena pakan kerang ini juga telah disediakan oleh alam. Titik kritis usaha ini hanyalah terdapat pada tahap pembesaran saja. Berbeda dengan usaha budidaya perikanan lain, dimana titik kritis hampir terdapat pada setiap tahapan, mulai dari pembenihan, pemberian pakan, pembesaran, kualitas air, penyakit, bahkan masih mungkin terkena resiko banjir, dll. Adapun dalam budidaya kerang ini, upaya kita hanyalah menyediakan rak-rak kolektor untuk menempel, mengawasinya sampai besar, dan selanjutnya panen. Relatif mudah kan? Jadi, tunggu apa lagi!

Ciptakan Cluster Industri Kekerangan di Pantai Panimbang

Dalam RPJMD Provinsi Banten 2007-2012 yang saat ini masih terus digodok, revitalisasi kawasan dan penciptaan ekonomi regional merupakan bagian terpenting dari visi pembangunan Provinsi Banten. Sistem pembangunan yang sering dikenal dengan istilah pembangunan cluster system ini merupakan strategi penciptaan kawasan ekonomi regional yang memanfaatkan keunggulan ekonomi lokal berbasis sumberdaya alam dan manusia.

Tak heran jika DKP Provinsi Banten memiliki obsesi mengembangkan Kawasan Industri Kekerangan yang telah diinisiasi dengan pembangunan instalasi pencucian kerang (depurasi) di Kec. Panimbang. Sentra industri kekerangan ini akan melibatkan seluruh komponen produksi mulai dari pembudidayaan kerang hijau, pengepakan sampai pengolahan dengan menggunakan teknologi tepat guna yang higienis meliputi small scale home industries. Sebenarnya bukan tidak mungkin industri skala besar pun dapat berkembang disini, mulai dari budidaya, pengepakan sampai pengolahan. Namun tentu para investor kelas tersebut membutuhkan pembuktian yang cukup meyakinkan bahwa sumberdaya kerang di lokasi tersebut memang layak dan cukup tersedia. Untuk itu pembuktian tersebut perlu dilakukan oleh small scale industries terlebih dahulu.

Instalasi Depurasi adalah modal awal yang sangat penting bagi terciptanya kawasan industri kekerangan di Provinsi Banten. Depurasi adalah sebuah intalasi standar yang dibangun untuk menjawab keraguan pasar luar negeri akan kualitas dan kebersihan produk kekerangan. Pasar domestik mungkin tidak terlalu memperhatikan sisi kualitas dan higienitas produk kerang ini. Namun bagi pasar mancanegara, hal itu merupakan prasyarat mutlak. Untuk itu, Pembangunan Instalasi Depurasi di Kec. Panimbang merupakan signal bahwa kawasan ini bukan hanya ditujukan untuk pasar domestik, tapi memang sengaja diciptakan untuk membuka prospek pasar luar negeri.

Untuk menuju ke sana, maka pertama sekali kita harus menciptakan produk kerang untuk pasar dalam negeri yang berkualitas ekspor. Saat ini kita masih sulit mendapatkan produk kerang, baik yang segar (fresh clams) maupun produk dingin (frozen clams) di supermarket-supermarket di kota besar, apalagi di kota-kota kecil. Teknologi pengepakan sistem frozen perlu ditularkan kepada masyarakat untuk mulai menjual produk tersebut ke supermarket di kota besar. Produksi kerang berkualitas tinggi ini merupakan langkah awal menuju ekspor, karena dari pasar domestik inilah kita belajar untuk memenuhi pasokan dengan kualitas standar terjamin dengan jumlah produksi yang kontinyu. Apabila dua hal tersebut telah dapat dijaga secara profesional, maka tak tertutup kemungkinan pasar mancanegara akan segera melirik.

Saat ini yang masyarakat pembudidaya kerang bersama-sama dengan DKP Provinsi Banten yang didukung oleh para teknisi yang betugas di instalasi depurasi perlu membuktikan standar kualitas dan kontinuitas produksi tersebut dengan dana-dana bantuan dari pemerintah sebagai trigger(pemicu) dan stimulator (perangsang) bagi para investor untuk menanamkam kapitalnya di Panimbang. Tanpa pembuktian itu, mustahil tingkat kepercayaan (level of confidence) dari para investor untuk terjun ke dunia kekerangan ini akan segera terwujud.

DKP Provinsi Banten harus terus membina dan mengembangkan Manajemen Produksi, Manajemen Mutu dan Manajemen Pemasaran yang profesional. Perlu dirancang target produksi yang terencana muali dari pemenuhan pasar sekitar kawasan budidaya, kemudian pasar regional se-provinsi Banten, lalu pasar nasional di Jabodetabek dan barulah menuju pasar internasional. Mudah-mudahan usaha ini pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan lapangan kerja.**)